Kasus non emergency PTBMMKI

Published on December 2016 | Categories: Documents | Downloads: 30 | Comments: 0 | Views: 237
of 18
Download PDF   Embed   Report

Comments

Content

KASUS-KASUS NON EMERGENCY

1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas a. Infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) merupakan penyakit akut yang paling umum ditemukan pada orang-orang. ISPA mencakup mulai dari yang ringan seperti common cold sampai kepada yang berat seperti epiglotitis. b. Gejala dan Tanda: Pada infeksi yang disebabkan virus, umumnya ditemukan keadaan sebagai berikut (contoh viral nasopharyngitis): Eritema mukosa hidung dan edema Nasal discharge: discharge yang banyak lebih khas pada infeksi virus, sekresi yang pada awalnya jernih biasanya menjadi putih berawan, kuning, atau hijau selama beberapa hari Napas berbau busuk Demam: jarang pada orang dewasa, tetapi mungkin ada pada anak-anak dengan infeksi rhinoviral Sedangkan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri, ciri-cirinya sebagai berikut (contoh Group A streptococcal pharyngitis): Eritema, pembengkakan, atau eksudat tonsil atau faring Suhu 38,3 ° C (100,9 ° F) atau lebih tinggi Pembesaran nodus cervicalis anterior (≥ 1 cm) Tidak adanya konjungtivitis, batuk, dan rhinorrhea; yang merupakan gejala dari ISPA yang disebabkan virus c. Prinsip Penatalaksanaan Awal Kebanyakan infeksi saluran pernapasan atas dapat didiagnosis dan diobati sendiri di rumah oleh kebanyakan orang pada umumnya. Terapi simtomatis merupakan andalan pengobatan ISPA pada orang dewasa dengan sistem imun yang baik, meskipun terapi antimikroba atau antiviral yang tepat dibutuhkan pada pasien tertentu (Meneghetti, 2013)

2. Common Cold, umumnya sama dengan prinsip pada ISPA.

3. Cephalgia a. Rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada daerah atas kepala memanjang dari orbital sampai ke daerah belakang kepala (area oksipital dan sebagian daerah tengkuk). Klasifikasi ini secara garis besar membagi nyeri kepala menjadi dua yaitu nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder. 1) Nyeri kepala primer kemudian dibagi menjadi empat kategori yaitu: a) Migraine b) Nyeri kepala tipe tegang c) Nyeri kepala cluster – trigerminal d) Nyeri kepala primer lainnya. 2) Nyeri kepala sekunder a) Nyeri kepala pasca trauma b) Nyeri kepala organik c) Perdarahan subaracnoid, neuralgia trigeminus. d) Penyakit Sistemik e) Sesudah pungsi lumbal (Harsono, 2011). b. Gejala dan Tanda a. Migren Migren adalah gejala kompleks yang mempunyai karakteristik pada waktu tertentu dan serangan sakit kepala berat yang terjadi berulang-ulang. Penyebab migren tidak diketahui jelas, tetapi ini dapat disebabkan oleh gangguan vaskuler primer yang biasanya banyak terjadi pada wanita dan mempunyai kecenderungan kuat dalam keluarga. Tanda dan gejala adanya migren pada serebral merupakan hasil dari derajat iskhemia kortikal yang bervariasi. Serangan dimulai dengan vasokonstriksi arteri kulit kepala dam pembuluh darah retina dan serebral. Pembuluh darah intra dan ekstrakranial mengalami dilatasi, yang menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan. b. Cluster Headache Cluster Headache adalah bentuk sakit kepal vaskuler lainnya yang sering terjadi pada pria. Serangan datang dalam bentuk yang menumpuk atau berkelompok, dengan nyeri yang menyiksa didaerah mata dan menyebar kedaerah wajah dan temporal. Nyeri diikuti

mata berair dan sumbatan hidung. Serangan berakhir dari 15 menit sampai 2 jam yang menguat dan menurun kekuatannya. Tipe sakit kepala ini dikaitkan dengan dilatasi didaerah dan sekitar arteri ekstrakranualis, yang ditimbulkan oleh alkohol, nitrit, vasodilator dan histamin. Sakit kepala ini berespon terhadap klorpromazin. c. Tension Headache Stress fisik dan emosional dapat menyebabkan kontraksi pada otot-otot leher dan kulit kepala, yang menyebabkan sakit kepala karena tegang. Karakteristik dari sakit kepala ini perasaan ada tekanan pada dahi, pelipis, atau belakang leher. Hal ini sering tergambar sebagai “beban berat yang menutupi kepala”. Sakit kepala ini cenderung kronik daripada berat. Pasien membutuhkan ketenangan hati, dan biasanya keadaan ini merupakan ketakutan yang tidak terucapkan. Bantuan simtomatik mungkin diberikan untuk memanaskan pada lokasi, memijat, analgetik, antidepresan dan obat relaksan otot (Harsono, 2009). c. Prinsip Penatalaksanaan Awal 1. Analgetikum, misalnya : a. Asam salisilat 500 mg tablet, dosis 150 mg/hari. b. Metampiron 500 mg tablet, dosis 1500 mg/hari c. Asam mefenamat 250 – 500 mg tablet, dosis 750 – 1500 mg/hari. 2. Penenang / ansiolitik, misalnya : a. Klordiasepoksid 5 mg tablet, dosis 15-30 mg/hari. b. Klobazepam 10 mg tablet, dosis 20 – 30 mg/hari c. Lorazepam 1-2 mg tablet, dosis 3 – 6 mg/hari. 3. Antidepresan, misalnya : a. Maprotiline 25, 50, 70 mg tablet, dosis 25 – 75 mg/hari. b. Amineptine 100 mg tablet, dosis 200 mg/hari. 4. Anestesia / analgetik lokal misalnya injeksi prokain. (Harsono, 2009).

4. Epigastric Pain Syndrome Diagnostic criteria* Must include all of the following:

. Pain or burning localized to the epigastrium of at least moderate severity, at least once per week . The pain is intermittent . Not generalized or localized to other abdominal or chest regions . Not relieved by defecation or passage of flatus . Not fulfilling criteria for gallbladder and sphincter of Oddi disorders * Criteria fulfilled for the last at least months with symptom onset

months prior to diagnosis

Supportive criteria . The pain may be of a burning quality, but without a retrosternal component . The pain is commonly induced or relieved by ingestion of a meal, but may occur while fasting . Postprandial distress syndrome may coexist

5. Diare a. Diare adalah peningkatan massa tinja, bertambahnya frekuensi buang air besar atau fluiditas (tingkat keenceran) tinja yang lebih tinggi (Dorland, 2002). Diare dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu karena adanya infeksi enteral dan parenteral, imuninodefisiensi, terapi, maupun karena tindakan tertentu lainnya. Infeksi enteral dapat disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, dan cacing. Sedangkan infeksi parenteral dapat disebabkan oleh karena intoksisitas makanan, alergi dan malabsorbsi (PAPDI, 2006). b. Gejala dan Tanda menurut Guandallini (2013): Dehidrasi : lesu, kesadaran menurun, membran mukosa kering, mata cekung, berkurangnya air mata, turgor kulit buruk, perlambatan pengisian kapiler Gagal tumbuh dan kekurangan gizi : berkurangnya massa otot/lemak atau edema perifer Nyeri perut / kram Borborygmi eritema perianal

c. Prinsip Penatalaksaan Awal: Untuk penatalaksanaan diare akut pada orang dewasa karena infeksi terdiri atas:

-

Rehidrasi, terdapat empat hal penting yang perlu diperhatikan yaitu: jenis, jumlah, jalan masuk atau cara dan jadwal pemberian cairan identifikasi penyebab diare akut karena infeksi, tentukan jenis diare koleriform atau disentriform dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang yang terarah terapi simtomatis, dengan pemberian obat antidiare diberikan sangat hati-hati atas pertimbangan rasional terapi definitif, edukasi yang jelas sangat penting sebagai langkah pencegahan; higiene perorangan, sanitasi lingkungan dan imunisasi melalui vaksinasi sangat berarti selain terapi farmakologi (Mansjoer, 2001).

Sedangkan pada diare kronis penatalaksanaan terdiri dari penatalaksanaan simtomatis dan kausal. Sebenarnya sebagian besar sama dengan penatalaksanaan pada diare akut, namun diperlukan bebrapa tambahan yang bersifat simtomatis. Penatalaksanaan simtomatis terdiri dari rehidrasi, pemberian antispasmodik, antikolinergik, obat antidiare, antiemetik, vitamin dan mineral, obat ekstrak enzim pankreas, alumunium hidroksida, fenotiazin dan asam nikotinat. Sedangkan untuk pengobatan kausal diberikan pada infeksi maupun noninfeksi. Pada diare yang disebabkan karena infeksi, obat diberikan berdasarkan etiologinya (Mansjoer, 2001).

6. Disentri a. Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit perut dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang bercampur lendir dan darah. Berdasarkan penyebabnya disentri dapat dibedakan menjadi dua yaitu disentri amuba dan disentri basiler. Penyebab yang paling umum yaitu adanya infeksi parasit Entamoeba histolytica yang menyebabkan disentri amuba dan infeksi bakteri golongan Shigella yang menjadi penyebab disentri basiler (Ramaiah, 2007). b. Gejala dan Tanda 1) Parasit Entamoeba hystolytica hidup dalam usus besar, parasit tersebut mempunyai dua bentuk, yaitu bentuk yang bergerak dan bentuk yang tidak bergerak. Parasit yang berbentuk tidak bergerak tidak menimbulkan gejala, sedangkan bentuk yang bergerak bila menyerang dinding usus penderita dapat menyebabkan mulas, perut kembung,

suhu tubuh meningkat, serta diare yang mengandung darah dan bercampur lendir, namun diarenya tidak terlalu sering (Suryadi, 2006). 2) Disentri basiler biasanya menyerang secara tiba – tiba sekitar dua hari setelah kemasukan kuman/bakteri Shigella. Gejalanya yaitu demam, mual dan muntahmuntah, diare dan tidak napsu makan. Bila tidak segera diatasi, dua atau tiga hari kemudian keluar darah, lendir atau nanah dalam feses penderita. Pada disentri basiler, penderita mengalami diare yang hebat yaitu mengeluarkan feses yang encer hingga 20-30 kali sehari sehingga menjadi lemas, kurus dan mata cekung karena kekurangan cairan tubuh (dehidrasi). Hal tersebut tidak bisa dianggap remeh, karena bila tidak segera diatasi dehidrasi dapat mengakibatkan kematian. Gejala lainnya yaitu perut terasa nyeri dan mengejang (Suryadi, 2006). c. Prinsip Penatalaksanaan Awal Rehidrasi Dalam keadaan darurat, dehidrasi yang ringan dapat diatasi dengan pemberian cairan elektrolit (oralit) untuk mengganti cairan yang hilang akibat diare dan muntahmuntah. Apabila dehidrasi cukup berat, setelah diberi oralit atau larutan campuran gula dan garam sebagai pertolongan pertama, sebaiknya penderita di bawa ke rumah sakit untuk diberikan perawatan (Widjaja, 2007). Obat yang dapat digunakan untuk membantu mengatasi disentri dan diare diantaranya mempunyai efek sebagai adstringent (pengelat) yaitu dapat mengerutkan selaput lendir usus sehingga mengurangi pengeluaran cairan diare dan disentri, selain itu juga mempunyai efek sebagai antiradang, dan antibakteri (Widjaja, 2007).

7. Konjungtivitis a. Konjunctivitis (konjungtivitis, pink eye) merupakan peradangan pada konjungtiva (lapisan luar mata dan lapisan dalam kelopak mata) yang disebabkan oleh mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, chlamidia), alergi, iritasi bahan-bahan kimia (RiordanEva, 2009). Klasifikasi dan Etiologi 1) Konjungtivitis Bakteri 2) Konjungtivitis Bakteri Hiperakut

3) Konjungtivitis Viral 4) Konjungtivitis Alergi 5) Konjungtivitis blenore, konjungtivitis purulen (bernanah pada bayi dan konjungtivitis gonore) b. Gejala dan Tanda 1) Konjungtivitis Bakteri Gejalanya, dilatasi pembuluh darah, edema konjungtiva ringan, epifora dan rabas pada awalnya encer akibat epifora tetapi secara bertahap menjadi lebih tebal atau mukus dan berkembang menjadi purulen yang menyebabkan kelopak mata menyatu dalam posisi tertutup terutama saat bangun tidur pagi hari. Eksudasi lebih berlimpah pada konjungtivitis jenis ini. Dapat ditemukan kerusakan kecil pada epitel kornea. 2) Konjungtivitis Bakteri Hiperakut Sering disertai urethritis. Infeksi mata menunjukkan sekret purulen yang masif. Gejala lain meliputi mata merah, iritasi, dan nyeri palpasi. Biasanya terdapat kemosis, kelopak mata bengkak, dan adenopati preaurikuler yang nyeri. Diplokokus gram negatif dapat diidentifikasi dengan pewarnaan Gram pada sekret. Pasien biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit untuk terapi topikal dan sistemik. 3) Konjungtivitis Alergi Mata gatal, panas, mata berair, mata merah, kelopak mata bengkak, pada anak biasanya disertai riwayat atopi lainnya seperti rhinitis alergi, eksema, atau asma. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan sel eosinofil, sel plasma, limfosit dan basofil. 4) Konjungtivitis Viral Gejalanya : Pembesaran kelenjar limfe preaurikular, fotofobia dan sensasi adanya benda asing pada mata. Epifora merupakan gejala terbanyak. Konjungtiva dapat menjadi kemerahan dan bisa terjadi nyeri periorbital. Konjungtivitis dapat disertai adenopati, demam, faringitis, dan infeksi saluran napas atas. 5) Konjungtivitis blenore Tanda – tanda blenore adalah sebagai berikut: Ditularkan dari ibu yang menderita penyakit GO Merupakan penyebab utama oftalmia neonatorum

-

Memberikan sekret purulen padat sekret yang kental Terlihat setelah lahir atau masa inkubasi antara 12 jam hingga 5 hari Perdarahan subkonjungtiva dan kemotik

(Riordan-Eva, 2009) c. Prinsip Penatalaksanaan Awal 1) Konjungtivitis Bakteri Sebelum terdapat hasil pemeriksaan mikrobiologi, dapat diberikan antibiotik tunggal, seperti gentamisin, kloramfenikol, folimiksin, dll. selama 3-5 hari. Kemudian bila tidak memberikan hasil yang baik, dihentikan dan menunggu hasil pemeriksaan. Bila tidak ditemukan kuman dalam sediaan langsung, diberikan tetes mata disertai antibiotik spektrum obat salep luas tiap jam mata untuk tidur atau salep mata 4–5 kali sehari. 2) Konjungtivitis Bakteri Hiperakut Pasien biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit untuk terapi topikal dan sistemik. Sekret dibersihkan dengan kapas yang dibasahi air bersih atau dengan garam fisiologik setiap ¼ jam. Kemudian diberi salep penisilin setiap ¼ jam. Penisilin tetes mata dapat diberikan dalam bentuk larutan penisilin G 10.000 – 20.000 unit /ml setiap 1 menit sampai 30 menit. Kemudian salep diberikan setiap 5 menit selama 30 menit. Disusul pemberian salep penisilin setiap 1 jam selama 3 hari. Antibiotika sistemik diberikan sesuai dengan pengobatan gonokokus. Pengobatan diberhentikan bila pada pemeriksaan mikroskopik yang dibuat setiap hari menghasilkan 3 kali berturut – turut negatif. 3) Konjungtivitis alergi Penatalaksanaan berupa kompres dingin dan menghindarkan penyebab pencetus penyakit. Biasanya diberikan obat Antihistamin atau bahan vasokonstriktor dan pemberian Astringen, sodium kromolin, steroid topikal dosis rendah. Rasa sakit dapat dikurangi dengan membuang kerak-kerak dikelopak mata dengan mengusap pelan-pelan dengan salin (garam fisiologis). Pemakaian pelindung seluloid pada mata yang sakit tidak dianjurkan karena akan memberikan lingkungan yang baik bagi mikroorganisme. 4) Konjungtivitis viral

Pemberian antihistamin / dekongestan topikal. Kompres hangat atau dingin dapat membantu memperbaiki gejala. 5) Konjungtivitis blenore Penatalaksanaan pada konjungtivitis blenore berupa pemberian penisilin topikal mata dibersihkan dari sekret. Pencegahan merupakan cara yang lebih aman yaitu dengan membersihkan mata bayi segera setelah lahir dengan memberikan salep kloramfenikol. (Ilyas, 2012).

8. Malaria (Perez-Jorge, 2013) a. Malaria adalah penyakit yang berpotensi mengancam nyawa yang disebabkan oleh infeksi protozoa Plasmodium yang ditransmisikan oleh nyamuk Anopheles betina infektif. Infeksi Plasmodium falciparum membawa prognosis yang buruk dengan angka kematian yang tinggi jika tidak diobati, tetapi memiliki prognosis yang sangat baik jika didiagnosis dini dan diobati dengan tepat. b. Gejala dan Tanda: Pasien dengan malaria biasanya menunjukkan gejala beberapa minggu setelah infeksi, meskipun simtomatologi dan masa inkubasinya dapat bervariasi, tergantung pada faktorfaktor host dan spesies penyebab. Gejala klinis meliputi: Sakit kepala (tercantum dalam hampir semua pasien dengan malaria) Batuk Kelelahan Rasa tidak enak Menggigil Arthralgia Mialgia Paroxysm fever, menggigil, dan berkeringat (setiap 48 atau 72 jam, tergantung pada spesies) Gejala yang kurang umum adalah sebagai berikut: Anorexia dan lesu Mual dan muntah

-

Diare Penyakit kuning

Kebanyakan pasien dengan malaria tidak memiliki temuan fisik spesifik, tetapi splenomegali dapat terjadi. c. Prinsip Penatalaksanaan Awal: Terapi bergantung dari spesies penyebab infeksi seperti berikut: Plasmodium falciparum, P vivax, P ovale, P malariae, P knowlesi. Rekomendasi umum untuk pengobatan farmakologis malaria adalah sebagai berikut : Malaria P falciparum: terapi Kinin berbasis adalah dengan kinin sulfat ditambah doxycycline atau klindamisin atau pirimetamin - sulfadoksin, terapi alternatif adalah artemeter - lumefantrine, atovakuon - proguanil, atau mefloquine. Malaria P vivax, P ovale: Chloroquine ditambah primaquine Malaria P malariae: Chloroquine Malaria P knowlesi: sama seperti malaria P falciparum

9. Demam Berdarah Dengue (Vyas, 2012) a. Demam berdarah dengue adalah infeksi yang berat dan berpotensi mematikan, yang disebarkan melalui nyamuk, terutama spesies Aedes aegypti. b. Gejala dan Tanda: Gejala awal dari DBD mirip dengan demam dengue. Namun setelah beberapa hari, pasien menjadi lebih lemas, berkeringat, dan dapat diikuti dengan keadaan seperti shock. Perdarahan tampak seperti titik kecil darah di kulit (petechiae). Gejala awal meliputi: Penurunan nafsu makan Demam Sakit kepala Nyeri sendi atau otot Malaise Muntah

Gejala fase akut meliputi: Lemas yang diikuti dengan ekimosis, petechiae, ruam, memburuknya gejala awal

-

Keadaan seperti shock: berkeringat, akral-akral dingin

c. Prinsip Penatalaksanaan Awal: Karena DBD disebabkan oleh virus yang belum diketahui pasti vaksin ataupun obatnya, maka penatalaksanaannya berdasarkan gejala, seperti sebagai berikut: Transfusi darah segar atau platelet bisa mengatasi masalah perdarahan Pemberian cairan dan elektrolit secara intravena dapat mengatasi ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh Terapi rehidrasi secara intravena juga untuk mengatasi dehidrasi Terapi oksigen mungkin dibutuhkan untuk mengatasi rendahnya oksigen darah Perawatan suportif di sarana kesehatan yang menunjang

10. Demam Thypoid a. Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut usus halus yang disebabkan infeksi Salmonella typhi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh feses dan urin dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. Tifoid disebut juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis (Mansjoer, 2001). b. Gejala dan Tanda Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi, atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat (38.840.50C). Sifat demam adalah meningkat perlahan-perlahan dan terutama sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif, lidah yang berselaput (lidah kotor), hepatomegali, splenomegali, meterioismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Gejala-gejala lain berupa tubuh menggigil, batuk, sakit tenggorokan. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia (Widodo, 2006). c. Prinsip Pengobatan Awal Pengobatan penderita Demam tifoid di terdiri dari pengobatan suportif meliputi istirahat, diet, dan medikamentosa. Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan

mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Antibiotika, seperti ampicillin, kloramfenikol, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan ciprofloxacin sering digunakan untuk merawat demam tifoid di negara-negara barat. Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga minggu sampai sebulan. Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus yang tidak terawat. Vaksin untuk demam tifoid tersedia dan dianjurkan untuk orang yang melakukan perjalanan ke daerah endemik (terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin) (Manjsoer, 2001).

11. Dermatitis a. Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen (bahan kimia, fisik (sinar matahari dan suhu), mikroorganisme (bakteri dan jamur) dan atau faktor endogen yang menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,skuama,likenifikasi) dan keluhan gatal (Djuanda, 2011). Klasifikasi dari dermatitis : 1) Dermatitis Kontak iritan 2) Dermatitis kontak Alergik 3) Dermatitis Atopik 4) Dermatitis stasis 5) Neurodermatitis sirkumskripta 6) Dermatitis Numularis 7) Dermatitis Autosensitisasi b. Gejala dan Tanda 1) Dermatitis Kontak iritan Dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang menempel pada kulit reaksi peradangan kulit non imunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Gejala klinis

Kelainan kulit yang terjadi beragam tergantung pada sifat iritan. Predileksi yang terjadi pada kedua tangan, kaki dan daerah yang terpajan. DKI Akut    Penyebab luka bakar oleh bahan kimia, iritan kuat : asam dan basa kuat (NaOH, KOH). Ketika terjadi menyebabkan reaksi segera timbul. Kulit terasa pedih, panas, dan rasa terbakar, kelainan yang terjadi eritema,edema dan bila mungkin juga nekrosis sedangkan pinggiran kulit berbatas tegas dan asimetris. DKI Subakut  Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI Akut tetapi baru muncul 8 sampai 24 jam atau lebih setelah kontak. Contoh bahan iritan: podofilin, antralin,asam hidrofluorat,etilen.  Jadi setelah kontak terjadi tidak langsung menyebabkan reaksi karena semua itu tergantung faktor yang mempengaruhi, apakah konsentrasinya lebih rendah atau tergantung faktor indivindu itu sendiri seperti ketebalan kulit. Contohnya : penderita kontak dengan bahan iritan dan merasa pedih esok harinya, awalnya eritema setelah itu sorenya menjadi vesikel dan nekrosis. DKI Kronis   Dermatitis yang paling sering terjadi. Penyebabnya adalah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah tetapi DKI Kronis dapat terjadi karena bekerja sama dengan berbagai faktor. Misalnya faktor kekerapan yang mempengaruhi.   Kulit kering,eritema,skuama,lambat laun hiperkeratosis, dan likenifikasi, dan difus. Bila kontak berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisur). Contoh : tukang cuci , keluhan penderita umumnya gatal dan nyeri karena fisur tetapi ada juga yang hanya merasa kulit kering tanpa eritema. Penatalaksanaan Memakai alat pelindung ditempat kerja dan menghindari pajanan bahan iritan. Bila DKI sembuh tanpa pengobatan topikal berikan pelembab. Sistemik  antihistamin, antibiotik, kortikosteroid (luas), roborantia

Topikal  jika basah kompres terbuka dengan sol KmnO4, jika kering dengan salep kortikosteroid. 2) Dermatitis kontak Alergik Gejala Klinis Gatal. Pada keadaan akut, dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas, lalu diikuti dengan edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah dan menimbulkan erosi dan eksudasi. Pada keadaan kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Penatalaksanaan Non farmakologi:    Upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan allergen penyebab. Menekan kelainan kulit yang timbul.

Farmakologi: Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau bula, serta eksudatif. Misalnya dengan prednisone 30mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari   Kelainan kulit cukup dikompres dengan larutan garam faal atau larutan air salisil 1:1000. Untuk DKA ringan atau akut yang telah mereda (setelah diberikan kortikosteroid sistemik) cukup diberikan kortikosteroid atau makrolaktam (pimecrolimus atau tacrolimus) secara topical. 3) Dermatitis Atopik Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar igE dalam seru dan riwayat atopi pada keluarga. Gejala klinis Kulit kering, pucat/redup, kadar lipid kurang, evaporasi meningkat, jari tangan terasa dingin, cemas, egois, frustasi Gejala utama

Pruritus biasanya hilang timbul dan biasanya pruritus hebat pada malam hari. Jika penderita menggaruk biasanya menjadi papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta. Penatalaksanaan : a) (umum) Menyingkirkan faktor yang memperberat atau memicu pasien untuk menggaruk. Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab. b) Pengobatan topikal Umumnya kulit penderita dermatitis atopik ini relative kering, sehingga menyebabkan mikroorganisme lebih mudah masuk kedalam tubuh melalui kulit tersebut. Penanganannya dengan cara memberikan pelembab krim hidrofilik urea 10% dan kortison 1% atau setelah mandi, kulit dilap hingga kering dan kemudian memakai emolien. Pemakaian dosis pada bayi untuk pengobatan topikal yaitu salep steroid potensi rendah (hidrokortison 1-2,5%), untuk remaja dan dewasa digunakan salep steroid potensi tengah. Bila penyakit sudah terkontrol, gunakan pemakaian intermitten 2 kali seminggu agar tidak cepat kambuh, dan gunakan salep potensi paling rendah. c) Sistemik Bisa menggunakan kortikosteroid untuk mengendalikan eksaserbasi akut, dan gunakan secara berselang atau bertahap agar tidak menimbulkan efek samping berlebih. Antihistamin juga digunakan untuk mengurangi rasa gatal. d) Terapi sinar Bisa menggunakan terapi sinar UVA dan UVB, biasanya digunakan untuk dermatitis atopik yang berat dan luas. 4) Dermatitis stasis Dermatitis statis adalah dermatitis sekunder akibat insufisiensi kronik vena (hipertensi vena) tungkai bawah. Gambaran klinis Tekanan vena meningkat pada tunkai bawah menyebabkan pelebaran vena, varises, edema. Kemudian lama-kelamaan kulit akan berwarna merah kehitaman dan timbul

purpura (karena ekstravasasi sel darah merah kedalam dermis). Kelainan dimulai dipermukaan tungkai bawah bagian medial lateral. Meluas hingga kebawah lutut. Terjadi eritema, skuama, kadang eksudasi, dan gatal. Jika lama kelamaan, kulit menjadi tebal dan fibrotik 1/3 tungkai bawah (Bourke, 2009) Pengobatan : a) Untuk edema : tungkai dinaikan pada saat tidur atau duduk. Diangkat keatas permukan jantung selama 30 menit. b) Memakai kaos kaki penyangga varises atau pembalut elastis c) Eksudat dikompres dan setelah kering diberi krim kortikosteroid d) Antibiotik sistemik untuk infeksi sekunder (Djuanda, 2011).

DAFTAR PUSTAKA

Bourke, et al. 2009. Guidelines For The Management of Contact Dermatitis: an update. Tersedia dalam :

http://www.bad.org.uk/portals/_bad/guidelines/clinical%20guidelines/contact%20dermati tis%20bjd%20guidelines%20may%202009.pdf. Diakses pada tanggal 10 Februari 2014 Djuanda, Adhi. 2011. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Dorland, W. 2002. Kamus Kedokteran DORLAND. Edisi 29. Jakarta: EGC. Guandallini, S. 2013. Diarrhea. http://emedicine.medscape.com/article/928598-overview. (diakses pada 8 Februari 2014) Harsono, 2009. Kapita Selekta Neurologi. Edisi II. Yogyakarta: Gadjahmada University Press. Harsono, 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi V. Yogyakarta: Gadjahmada University Press. Ilyas, S, Yulianti, SR. 2012. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Keempat. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mansjoer, et al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius. Meneghetti, A. 2013. Upper Respiratory Tract Infection.

http://emedicine.medscape.com/article/302460-overview. (diakses pada 31 Januari 2014) PAPDI. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Perez-Jorge, E. 2013. Malaria. http://emedicine.medscape.com/article/221134-overview.

(diakses pada 8 Februari 2014) Ramaiah, S. 2007. All You Wanted To Know About Diare. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Popular Riordan-Eva, P., Whitcher, J.P., 2009. Oftalmologi Umum Vaughan & Asbury. Edisi 17. Jakarta: EGC. Suryadi, et al. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: Percetakan Penebar Swadaya Vyas, J. 2012. Dengue Hemorrhagic Fever.

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001373.htm. (diakses pada 8 Februari 2014) Widjaja. 2007. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga

Widodo, djoko. 2006. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sponsor Documents

Or use your account on DocShare.tips

Hide

Forgot your password?

Or register your new account on DocShare.tips

Hide

Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link to create a new password.

Back to log-in

Close