LAPORAN PENDAHULUAN

Published on December 2016 | Categories: Documents | Downloads: 110 | Comments: 0 | Views: 1298
of 11
Download PDF   Embed   Report

Comments

Content

LAPORAN PENDAHULUAN PERAWATAN DAN PENCEGAHAN LUKA (DEKUBITUS)

A. KASUS (MASALAH UTAMA) Luka Tekan / Pressure Ulcer ( Dekubitus) B. PROSES TERJADINYA MASALAH 1. Pengertian Luka Dekubitus Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan diri yang didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam (Sabandar, 2008). National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) mengatakan dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang

cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan (Potter & Perry, 2005). 2. Faktor resiko dekubitus Menurut Potter & Perry (2005), ada berbagai faktor yang menjadi predisposisi terjadi luka dekubitus pada pasien yaitu: a) Gangguan Input Sensorik Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan tekanan beresiko tinggi menggalami gangguan integritas kulit dari pada pasien yang sensasinya normal. Pasien yang mempunyai persesi sensorik yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar. Sehingga ketika pasien sadar dan berorientasi, mereka dapat mengubah atau meminta bantuan untuk mengubah posisi. b) Gangguan Fungsi Motorik Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko tinggi terhadap dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi, tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadinya dekubitus. Pada pasien yang mengalami cedera medulla spinalis terdapat gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian dekubitus pada pasien yang mengalami cedera medula spinalis diperkirakan sebesar 85%, dan komplikasi luka ataupun berkaitan dengan luka merupakan

penyebab kematian pada 8% populasi ini (Ruller & Cooney, 1981 dalam Potter & Perry, 2005). c) Perubahan Tingkat Kesadaran Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus. Pasien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi yang labih baik. Selain itu pada pasien yang mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah menjadi binggung. Beberapa contoh adalah pada pasien yang berada di ruang operasi dan untuk perawatan intensif dengan pemberian sedasi. d) Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstermitasnya. Pasien yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus karena adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat dikeringkan atau ekstremitasnya bengkak. Peralatan ortotik seperti penyangga leher digunakan pada pengobatan pasien yang mengalami fraktur spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus merupakan potensi komplikasi dari alat penyangga leher ini. Sebuah studi yang dilakukan plaiser dkk, (1994) mengukur jumlah tekanan pada tulang tengkorak dan wajah yang diberikan oleh emapt jenis penyangga leher yang berbeda dengan subjek berada posisi terlentang dan upright (bagian atas lebih tinggi). Hasilnya menunjukkan bahwa pada beberapa penyangga leher, terdapat tekanan yang menutup kapiler. Perawat perlu waspada terhadap resiko kerusakan kulit pada klien yang menggunakan penyangga leher ini. Perawat harus mengkaji kulit yang berada di bawah penyangga leher, alat penopang (braces), atau alat ortotik lain untuk mengobservasi tanda-tanda kerusakan kulit (Potter & Perry, 2005). 3. Penilaian resiko luka dekubitus Empat instrumen yang digunakan mengkaji resiko terjadi dekubitus dapat segera mengidentifikasi klien beresiko tinggi. Pencegahan dan pengobatan dekubitus merupakan prioritas utama keperawatan, beberapa skala pengkajian resiko yang dikembangkan perawat yaitu diantara lain:

a) Skala Norton Skala tersebut menilai lima faktor resiko: kondisi fisik, kondisi mental, aktivitas, mobilisasi, dan inkontinensia. Total nilai berada diantara 5 sampai 2, total nilai rendah mengindikasikan resiko tinggi terjadi dekubitus. Saat ini nilai 16 adalah sebagai nilai yang beresiko (Norton, 1989) b) Skala Gosnell Skala tersebut menilai lima faktor resiko: Nutrisi, status mental, kontinensia, mobilisasi, dan aktivitas. Total nilai berada dalam rentang antara 5 sampai 20, dimana nilai total tertinggi mengindikasikan resiko dekubitus (Gosnell, 1989). c) Skala Knoll Delapan faktor resiko meliputi status kesehatan umum, status mental, status aktivitas, mobilisasi, inkontinensia, asupan nutrisi melalui oral, asupan cairan melalui oral, dan penyakit yang menjadi faktor predisposisi. Total nilai berada di rentang 0 sampai 33, total nilai tinggi mengindikasikan risiko dekubitus. Nilai risiko berada pada nilai 12 atau lebih. d) Skala Braden Skala braden terdiri dari 6 subskala, yaitu: persepsi sensori, kelembapan, aktivitas, mobilitas, nutrisi, friksi dan gesekan. Nilai total berada pada rentang dari 6 sampai 23, total nilai rendah menunjukkan resiko tinggi terjadi dekubitus (Braden dan Bergstorm, 1989).

4. Patogenesis Luka Dekubitus Tiga elemen yang menjadi dasar terjadinya dekubitus yaitu: a. Intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler (Landis, 1930). b. Durasi dan besarnya tekanan (Koziak, 1953) c. Toleransi jaringan (Husain, 1953) Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antar waktu dengan tekanan (Stortts, 1988 dalam Potter & Perry, 2005). Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula insidensinya terbentuknya luka ( Potter & Perry, 2005). Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi pada tekanan eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia sehinggan terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan trombosis (Maklebust,

1987 dalam Potter & Perry, 2005). Jika tekanan dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan akan pulih kembali melalui mekanisme fisiologis hiperemia reaktif, karena kulit mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus dimulai di tulang dengan iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang akhirnya melebar ke epidermis (Maklebust, 1995 dalam Potter & Perry, 2005). Pembentukan luka dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek yang terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area sakral dan tumit merupakan area yang paling rentan (Maklebust, 1987 dalam Potter & Perry, 2005). Efek tekanan juga dapat di tingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata. Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan tempatnya berada karena adanya gravitasi (Berecek, 1975 dalam Potter & Perry, 2005). Jika tekanan tidak terdistribusi secara merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami gangguan. 5. Faktor yang mempengaruhi pembentukan Luka Dekubitus Gangguan integritas kulit yang terjadi pada dekubitus merupakan akibat tekanan. Tetapi, ada faktor-faktor tambahan yang dapat meningkatkan resiko terjadi luka dekubitus yang terjadi luka dekubitus yang lebih lanjut pada pasien. Menurut Potter & Perry (2005) ada 10 faktor yang mempengaruhi pembentukan luka dekubitus diantaranya gaya gesek, friksi, kelembaban, nutrisi buruk, anemia, infeksi, demam, gangguan sirkulasi perifer, obesitas, kakesia, dan usia. a) Gaya Gesek Gaya gesek merupakan tekanan yang dberikan pada kulit dengan arah pararel terhadap permukaan tubuh (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry 2005). Gaya ini terjadi saat pasien bergerak atau memperbaiki posisi tubuhnya diatas saat tempat tidur dengan cara didorong atau di geser kebawah saat berada pada posisi fowler yang tinggi. Jika terdapat gaya gesek maka kulit dan lapisan subkutan menempel pada permukaan tempat tidur, dan lapisan otot serta tulang bergeser sesuai dengan arah gerakan tubuh. Tulang pasien bergeser kearah kulit dan memberi gaya pada kulit (Maklebust & Sieggren, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Kapiler jaringan yang berada di bawahnya tertekan dan terbeban oleh tekanan tersebut. Akibatnya, tak lama setelah itu akan terjadi gangguan mikrosirkulasi lokal kemudian menyebabkan hipoksi, perdarahan dan nekrosis pada lapisan jaringan. Dengan mempertahankan tinggi bagian kepala tempat

tidur dibawah 30 derajat dapat menghindarkan cedera yang diakibatkan gaya gesek (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005). Brayan dkk, 1992 dalam Potter & Perry, 2005 mengatakan juga bahwa gaya gesek tidak mungkin tanpa disertai friksi. b) Friksi Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan pada kulit saat digeser pada permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005) . Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera akibat friksi mempengaruhi epedermis atau lapisan kulit bagian atas, yang terkelupas ketika pasien mengubah posisinya. Seringkali terlihat cedera abrasi pada siku atau tumit (Wysocki & Bryant, 1992 dalam Potter & Perry, 2005).Cedera ini terjadi pada pasien gelisah, pasien yang gerakan nya tidak terkontrol, seperti kondisi kejang, dan pasien yang kulitnya diseret dari pada diangkat dari permukaan tempat tidur selama perubahan posisi (Maklebust & Siegreen, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Tindakan keperawatan bertujuan mencegah cedera friksi antara lain sebagai berikut: memindahkan klien secara tepat dengn mengunakan teknik mengangkat siku dan tumit yang benar, meletakkan bendabenda dibawah siku dan tumit seperti pelindung dari kulit domba, penutup kulit, dan membran transparan dan balutan hidrokoloid untuk melindungi kulit, dan menggunakan pelembab untuk mempertahankan hidrasi epidermis (Potter & Perry, 2005) . c) Kelembaban Adanya kelembaban pada kulit dan durasinya meningkatkan terjadinya kerusakan integritas kulit. Akibat kelembaban terjadi peningkatan resiko pembentukan dekubitus sebanyak lima kali lipat (Reuler & Cooney, 1981 dalam Potter & Perry, 2005). Kelembaban menurunkan resistensi kulit terhadap faktor fisik lain seperti tekenan atau gaya gesek (Potter & Perry, 2005). Pasien imobilisasi yang tidak mampu memenuhi kebutuhan higienisnya sendiri, tergantung untuk menjaga kulit pasien tetap kering dan utuh. Untuk itu perawat harus memasukkan higienis dalam rencana perawatan. Kelembaban kulit dapat berasal dari drainase luka, keringat, kondensasi dari sistem yang mengalirkan oksigen yang dilembabkan, muntah, dan inkontensia. Beberapa cairan tubuh seperti urine, feses, dan inkontensia menyebabkan erosi kulit dan meningkatkan resiko terjadi luka akibat tekanan pada pasien (Potter & Perry, 2005).

d) Nutrisi Buruk Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut. Pasien yang mengalami malnutrisi mengalami defisiensi protein dan keseimbangan nitrogen negatif dan tidak adekuat asupan vitamin C (Shekleton & Litwack, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).Pasien dengan status nutrisi buruk biasa mengalami hipoalbuminunea (level albumin serum dibawah 3g/100 ml) dan anemia (Nalto, 1983 ; Steinberg 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang albumin serumnya dibawah 3g/100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level albumin rendah dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka (Kaminski et el, 1989); Hanan & Scheele, 1991). e) Anemia Pasien anemia beresiko terjadi dekubitus. Penurunan level hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen serta mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia juga mengganggu metabolisme sel dan mengganggu penyembuhan luka (Potter & Perry, 2005). f) Kakeksia Kakeksia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum, ditandai kelemahan dan kurus. Kakeksia biasa berhubungan dengan penyakit berat seperti kanker dan penyakit kardiopulmonal tahap akhir. Kondisi ini meningkatkan resiko luka dekubitus pada pasien. Pada dasarnya pasien kakesia mengalami kehilangan jaringan adipose yang berguna untuk melindungi tonjolan tulang dari tekanan ( Potter & Perry, 2005). g) Obesitas Obesitas dapat mengurangi dekubitus. Jaringan adipose pada jumlah kecil berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari tekanan. Pada obesitas sedang ke berat, jaringan adipose memperoleh vaskularisasi yang buruk, sehingga jaringan adipose dan jaringan lain yang berada dibawahnya semakin rentan mengalami kerusakan akibat iskemi (Potter & Perry, 2005).

h) Infeksi Infeksi disebabkan adanya patogen dalam tubuh. Pasien infeksi biasa mengalami demam. Infeksi dan demam menigkatkan kebutuhan metabolik tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia (penurunan oksigen) semakin rentan mengalami iskemi akibat (Skheleton & Litwalk, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Selain itu demam menyebabkan diaporesis (keringatan) dan meningkatkan kelembaban kulit, yang selanjutnya yang menjadi predisposisi kerusakan kulit pasien (Potter & Perry, 2005). i) Gangguan Sirkulasi Perifer Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih rentan mengalami kerusakan iskemia. Gangguan sirkulasi pada pasien yang menderita penyakit vaskuler, pasien syok atau yang mendapatkan pengobatan sejenis vasopresor (Potter & Perry, 2005). j) Usia Lansia mempunyai potensi besar untuk mengalami dekubitus oleh karena berkaitan dengan perubahan kulit akibat bertambahnya usia, kecenderungan lansia yang lebih sering berbaring pada satu posisi oleh karena itu imobilisasi akan memperlancar resiko terjadinya dekubitus pada lansia. Imobilsasi berlangsung lama hampir pasti dapat menyebabkan dekubitus (Roah, 2000) menurut pranaka (1999), ada tiga faktor penyebab dekubitus pada lansia yaitu: 1) Faktor kondisi fisik lansia itu sendiri (perubahan kulit, status gizi, penyakitpenyakit neurogenik, pembuluh darah dan keadaan hidrasi atau cairan tubuh). 2) Faktor perawatan yang diberikan oleh petugas kesehatan 3) Faktor kebersihan tempat tidur, alat tenun yang kusut dan kotor atau peralatan medik yang menyebabkan lansia terfiksasi pada suatu sikap tertentu.

6. Klasifikasi Luka Dekubitus Salah satu cara yang paling untuk mengklasifikasikan dekubitus adalah dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan. Sistem ini pertama kali dikemukakan oleh Shea (1975 dalam Potter & Perry, 2005) sebagai salah satu cara untuk memperoleh metode jelas dan konsisten untuk menggambarkan dan mengklasifikasikan luka dekubitus. Sistem tahapan luka dekubitus berdasarkan gambaran kedalaman jaringan yang rusak (Maklebust, 1995 dalam Potter & Perry, 2005). Tahapan dibawah ini berasal

dari NPUAP (1992), dan tahapan ini juga digunakan dalam pedoman pengobatan AHPCR (1994). Pada konferensi konsensus NPUAP (1995) mengubah defenisi untuk tahap I yang memperlihatkan karakteristik pengkajian pasien berkulit gelap. Berbagai indikator selain warna kulit, seperti suhu, adanya pori-pori ”kulit jeruk”, kekacauan atau ketegangan, kekerasan, dan data laboratorium, dapat membantu mengkaji pasien berkulit gelap (Maklebust & Seggreen, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Bennet (1995 dalam Potter & Perry, 2005). Menurut NPUAP (1995 dalam Potter & Perry, 2005) ada perbandingan luka dekubitus derajat I sampai derajat IV yaitu: a) Derajat I: Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator b) Derajat II: Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis. Luka superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang dangkal. c) Derajat III: Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau nekrotik yang mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui fascia yang berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya. d) Derajat IV: Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif, nekrosis jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya kerusakan jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan kapsul sendi.

7. Tempat terjadinya luka Dekubitus Beberapa tempat yang paling sering terjdinya dekubitus adalah sakrum, tumit, siku, maleolus lateral, trokonter besar, dan tuberostis iskial (Meehan, 1994). Menurut Bouwhuizen (1986) dan menyebutkan daerah tubuh yang sering terkena luka dekubitus adalah: a) Pada penderita pada posisi terlentang: pada daerah belakang kepala, daerah tulang belikat, daerah bokong dan tumit. b) Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala (terutama daun telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki dan bagian atas jari-jari kaki. c) Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang iga, dan lutut.

C. DATA YANG HARUS DIKAJI DAN MASALAH KEPERAWATAN Pengkajian resiko luka dekubitus harus dilakukan secara sistematis (NPUAP, 1989) seperti Pengkajian Resiko Luka Dekubitus Identifikasi resiko terjadi pada pasien: 1. Identifikasi resiko terjadi pada pasien: a) Paralisis atau imobilisasi yang disebabkan oleh alat-alat yang membatasi gerakan pasien. b) Kehilangan sensorik c) Gangguan sirkulasi d) Penurunan tingkat kesadaran, sedasi, atau anastesi e) Gaya gesek, friksi f) Kelembaban: inkontensia, keringat, drainase luka dan muntah g) Malnutrisi h) Anemia i) Infeksi j) Obesitas k) Kakesia l) Hidrasi: edema atau dehidrasi m) Lanjut usia n) Adanya dekubitus 2. Kaji kondisi kulit disekitar daerah yang mengalami penekanan pada area sebagai berikut: a) Hireremia reaktif normal b) Warna pucat c) Indurasi d) Pucat dan belang-belang e) Hilangnya lapisan kulit permukaan f) Borok, lecet atau bintik-bintik 3. Kaji daerah tubuh pasien yang berpotensi mengalami tekanan: a) Lubang hidung b) Lidah, bibir c) Tempat pemasangan intravena d) Selang drainase e) Kateter foley

4. Observasi posisi yang lebih disukai pasien saat berada di atas tempat tidur atau kursi 5. Observasi mobilisasi dan kemampuan pasien untuk melakukan dan membantu dalam mengubah posisi. 6. Tentukan nilai resiko: a) Skala Norton b) Skala Gonsell c) Skala Barden 7. Pantau lamanya waktu daerah kemerahan 8. Dapatkan data pengkajian nutrisi yang meliputi jumlah serum albumin, jumlah protein total, jumlah hemoglobin, dan presentasi berat badan ideal 9. Kaji pemahaman pasien dan keluarga tentang resiko dekubitus. 2.1.11 Rencana Kerja Dalam Pencegahan dan Penatalaksanaan Dekubitus a. Kaji resiko pasien terhadap adanya pengembangan dekubitus dengan menggunakan alat pengkajian yang teruji dan valid dalam 1 jam setelah pasien masuk b. Lakukan pengkajian ulang bila mana terdapat perubahan material pada kondisi pasien c. Pilihlah suatu sistem penyangga bagi pasien yang sesuai dangan skor resiko pasien dalam 1 jam setelah masuk bangsal d. Rencanakan jadwal mobilisasi dan jadwal pergantian posisi yang sesuai dengan resiko pasien, hindarkan pasien dari kerusakan/kehancuran kulit dan tempat yang beresiko tinggi sebanyak mungkin dan harus diingat kebutuhan pasien untuk beristirahat, makan dan menerima kunjungan, catat perubahan posisinya e. Inspeksi tempat-tempat beresiko tinggi secara teratur, contohnya setiap kali merubah posisi pasien, dan lakukan pengkajian ulang adanya dekubitus setiap hari f. Pertahankan integritas kulit, bersihkan selalu setelah pasien mengalami inkontensia urine atau fekal, jangan menggunakan sabun secara berlebihan, hindari menggosok kulit yang lembut, bila memungkinkan lakukan identifikasi dan koreksi terhadap sebab inkontensia g. Dengan bantuan ahli diet lakukan pengkajian status nutrisi pasien dan semua diet khusus yang diperlukan untuk memperbaiki kebutuhan. h. Ringankan pengaruh dari kondisi melemahkan yang lain yang terjadi

secara bersamaan bila memungkinkan i. Lakukan identifikasi dan coba untuk mengkoreksi setiap masalah yang berhubungan dengan tidur j. Jangan lupakan pentingnya dukungan psikologis.

Sponsor Documents

Or use your account on DocShare.tips

Hide

Forgot your password?

Or register your new account on DocShare.tips

Hide

Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link to create a new password.

Back to log-in

Close