The Health Policy Framework

Published on July 2016 | Categories: Documents | Downloads: 55 | Comments: 0 | Views: 353
of 21
Download PDF   Embed   Report

Comments

Content

\JUDUL TUGAS : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN PELAYANAN KESEHATAN NAMA-NAMA KELOMPOK DOORTUA BUTAR-BUTAR (NIM: 127046002) MARTHALINA LIMBONG (127046004) ROSTIODERTINA GIRSANG (127046055) OSAK SITORUS (1270460 KARMILA KABAN (127046028) IMELDA DERANG (127046051) The Health Policy Framework Diposkan oleh Bedjo Santoso, M.Kes 0 komentar “The Health Policy Framework” by Bedjo Santoso, Program Doktoral IKG UGM Bab I dalam buku ini menyajikan tentang mengapa kebijakan kesehatan penting ? dan bagaimanakah cara menetapkan kebijakan ? Bagaimanakah kerangka analisis sederhana yang menggabungkan tentang konteks, proses dan aktor dalam penyusunan sebuah kebijakan sehingga tidak berubah dari waktu ke waktu. Mengapa kebijakan kesehatan penting? Beberapa alasan disampaikan oleh Kent Buse, Nicholas Mays dan Gill Walt tentang mengapa kebijakan kesehatan penting ? Hal ini disebabkan karena sektor kesehatan merupakan bagian penting perekonomian di berbagai negara. Sejumlah pendapat menyatakan bahwa sektor kesehatan sama seperti spons, artinya menyerap banyak sumber daya nasional untuk membiayai banyak tenaga kesehatan. Pendapat yang lain mengemukakan bahwa sektor kesehatan seperti pembangkit perekonomian, melalui inovasi dan investasi dibidang teknologi bio-medis atau produksi dan penjualan obat-obatan, atau dengan menjamin adanya populasi yang sehat yang produktif secara ekonomi. Sebagian warga masyarakat mengunjungi fasilitas kesehatan sebagai pasien atau pelanggan, dengan memanfaatkan rumah sakit, klinik atau apotik, bahkan sebagai profesi kesehatan (perawat, dokter, tenaga pendukung kesehatan, apoteker, atau manajer), karena pengambilan keputusan kesehatan berkaitan dengan hal kematian dan keselamatan. Kesehatan diletakkan dalam kedudukan yang lebih istimewa dibanding dengan masalah sosial yang lainnya, kesehatan juga dipengaruhi oleh sejumlah keputusan yang tidak ada kaitannya dengan layanan kesehatan seperti kemiskinan mempengaruhi kesehatan masyarakat, sama halnya dengan lingkungan mempengaruhi kesehatan (polusi, air kotor atau sanitasi yang buruk), dan Kebijakan ekonomi mempengaruhi kesehatan (seperti pajak merokok, atau alkohol dapat pula mempengaruhi perilaku masyarakat). Memahami hubungan antara kebijakan kesehatan dan kesehatan itu sendiri menjadi sedemikian pentingnya sehingga memungkinkan untuk menyelesaikan masalah kesehatan utama yang terjadi saat ini. Kebijakan kesehatan memberi arahan dalam pemilihan teknologi kesehatan yang akan dikembangkan dan digunakan, mengelola dan membiayai layanan kesehatan, atau jenis obat yang dapat dibeli bebas. Untuk memahami hal tersebut, perlu mengartikan apa yang dimaksud dengan kebijakan kesehatan.

Kebijakan kesehatan menjadi penting karena memiliki manfaat : 1) Membantu memberikan informasi seutuhnya kepada para pembuat kebijakan kesehatan dalam pengambilan keputusan, 2) untuk mengisolasi dan mengklarifikasi terhadap isu yang berkembang di masyarakat, 3) merupakan inkonsistensi dari tujuan dan upaya yang telah ditetapkan, 4) merupakan pedoman guna membuat alternatif kebijakan yang baru, 5) merupakan metode untuk memberikan arah dalam menterjemahkan ide/gagasan menjadi suatu kebijakan yang layak dan realistik. Apa kebijakan kesehatan itu? Kebijakan sering diartikan sebagai sejumlah keputusan yang dibuat oleh mereka yang bertanggung jawab dalam bidang kebijakan tertentu (bidang kesehatan, lingkungan, pendidikan atau perdagangan). Orang-orang yang menyusun kebijakan disebut dengan pembuat kebijakan. Kebijakan dapat disusun di semua tingkatan (pemerintah pusat atau daerah, perusahan multinasional atau daerah, sekolah atau rumah sakit). Orang-orang ini kadang disebut pula sebagai elit kebijakan yaitu satu kelompok khusus dari para pembuat kebijakan yang berkedudukan tinggi dalam suatu organisasi dan sering memiliki hubungan istimewa dengan para petinggi dari organisasi yang sama atau berbeda. Misal : elit kebijakan di pemerintahan dapat beranggotakan para menteri dalam kabinet, yang semuanya dapat berhubungan dan bertemu dengan para petinggi perusahaan multinasional atau badan internasional, seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kebijakan dapat disusun disektor swasta dan pemerintah. Di sektor swasta, konglomerat multinasional dapat menyusun kebijakan bagi semua anak perusahaannya diseluruh dunia, tetapi memberi kesempatan kepada anak perusahaan di daerah untuk memutuskan kebijakan mereka sendiri dengan sejumlah syarat. Sebagai contoh : perusahaan seperti Anglo-American dan Heineken mengeluarkan terapi antiretroviral untuk para pekerjanya yang menderita HIV positif di Afrika ditahun 2000, sebelum pemerintah yang lain melakukan hal yang sama. Namun, perusahaan swasta harus memastikan bahwa kebijakan mereka disusun sesuai dengan hukum yang berlaku umum, yang disusun oleh pemerintah. Kebijakan publik mengacu kepada kebijakan pemerintah. Sebagai contoh Thomas Dye (2001) menyatakan bahwa kebijakan umum adalah segala sesuatu yang dipilih atau diputuskan oleh pemerintah untuk dilaksanakan atau tidak. Ia berpendapat bahwa kegagalan untuk membuat keputusan atau bertindak atas suatu permasalahan juga merupakan suatu kebijakan. Misal : pemerintah Amerika terus menerus memutuskan untuk tidak menetapkan layanan kesehatan universal, tetapi mengandalkan program market-plus untuk warga sangat miskin dan lansia 65 th keatas, guna memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakatnya. Ketika mempertimbangkan contoh-contoh dalam kebijakan publik, pembaca harus mempertimbangkan pula pernyataan atau pendapat resmi yang dikeluarkan oleh suatu pemerintah atau departemen. Pernyataan atau pendapat tersebut dapat digunakan dalam pencapaian tujuan tertentu (pelarangan bertukar jarum guna mengurangi resiko diantara pengguna obat, atau menyelesaikan suatu masalah memungut tarif untuk kendaraan guna mengurangi kepadatan lalu lintas di daerah perkotaan). Kebijakan dapat mengacu kepada kebijakan kesehatan atau ekonomi yang disusun pemerintah, dimana kebijakan tersebut digunakan sebagai batasan kegiatan atau suatu usulan tertentu. Kadang kebijakan disebut sebagai suatu program, sebagai contoh bahwa program kesehatan sekolah yang dicanangkan pemerintah dapat

memiliki sejumlah kebijakan yang berbeda seperti menolak calon siswa sebelum mereka memperoleh vaksin imunisasi penyakit anak, menyelenggarakan pemeriksaan medis, mensubsidi makanan sekolah dan pendidikan kesehatan yang wajib disertakan dalam kurikulum. Program kesehatan sekolah tersebut menjadi kebijakan bagi anak usia sekolah. Dalam contoh ini, jelas bahwa kebijakan tidak hanya berpangkal pada satu keputusan saja tetapi meliputi sejumlah keputusan yang mengarah ke suatu arah tindakan yang luas sepanjang waktu. Keputusan atau tindakan ini dapat disengaja atau tidak sengaja terdefinisi atau dianggap sebagai kebijakan. Ada banyak cara untuk mendefinisikan kebijakan, Menurut Thomas Dye kebijakan umum adalah apa yang dilaksanakan dan tidak dilaksanakan oleh pemerintah, tampaknya berlawanan dengan asumsi yang lebih formal bahwa segala kebijakan disusun untuk mencapai suatu maksud atau tujuan tertentu. Kebijakan kesehatan dapat meliputi kebijakan publik dan swasta tentang kesehatan. Dalam buku ini kebijakan kesehatan diasumsikan untuk merangkum segala arah tindakan (dan dilaksanakan) yang mempengaruhi tatanan kelembagaan, organisasi, layanan dan aturan pembiayaan dalam sistem kesehatan. Kebijakan ini mencakup sektor publik (pemerintah) sekaligus sektor swasta. Tetapi karena kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor penentu diluar sistem kesehatan, para pengkaji kebijakan kesehatan juga menaruh perhatian pada segala tindakan dan rencana tindakan dari organisasi diluar sistem kesehatan yang memiliki dampak pada kesehatan (misal : pangan, tembakau atau industri obat). Sama halnya dengan beragam definisi kebijakan kesehatan, ada banyak gagasan mengenai pengkajian kebijakan kesehatan beserta penekanannya, sebagai contoh seorang ahli ekonomi mungkin berpendapat bahwa kebijakan kesehatan adalah segala sesuatu tentang pengalokasian sumber daya yang langka bagi kesehatan; seorang perencana melihatnya sebagai cara untuk mempengaruhi faktor-faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat; dan bagi seorang dokter, kebijakan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan layanan kesehatan (Walt 1994). Menurut Walt, kebijakan kesehatan serupa dengan politik dan segala penawaran terbuka kepada orang yang berpengaruh pada penyusunan kebijakan, bagaimana mereka mengolah pengaruh tersebut ?, dan dengan persyaratan apa ?. Buku ini mengambil pendapat terakhir tentang kebijakan kesehatan, dan meletakkannya dalam suatu kerangka yang mencakup politik. Politik tidak dapat dipisahkan dari kebijakan kesehatan. Jika pembaca menerapkan epidemiologi, ilmu ekonomi, biologi atau profesi dan pengetahuan teknis lainnya ke dalam kehidupan sehari-hari, politik akan mempengaruhi pembaca. Tak seorang pun yang tidak dipengaruhi oleh politik. Misal : ilmuwan mungkin harus memfokuskan penelitian mereka pada hal-hal yang menarik minat pemberi biaya, daripada pertanyaan yang ingin mereka eksplorasi sendiri. Dalam memberikan resep, tenaga kesehatan mungkin harus mempertimbangkan kemungkinan tuntutan yang mengundang perselisihan dari pihak manajemen rumah sakit, peraturan pemerintah dan kemampuan masyarakat untuk membayar. Para profesional ini mungkin didatangi oleh sales perusahaan obat (detailer) yang ingin mempengaruhi mereka untuk memberikan obat dari perusahaan mereka, dan mungkin saja para sales perusahaan ini menggunakan bentuk insentif yang berbeda. Sebagian besar kegiatan merupakan bagian dari pasang surut dan arus politik.

Dalam pengembangan suatu kerangka yang mengintegrasikan politik kedalam kebijakan, para pengkaji kebijakan kesehatan perlu memikirkan lebih jauh isi kebijakan. Banyak buku dan makalah tentang kebijakan kesehatan hanya berfokus pada satu kebijakan tertentu, meggambarkan maksud dari kebijakan tersebut, strategi untuk mencapai tujuan, dan apakah kebijakan tersebut berhasil mencapainya. Sebagai contoh: pada tahun 1990-an perhatian tertuju pada pembiayaan layanan kesehatan, dan melontarkan pertanyaan seperti berikut : 1) Kebijakan mana yang lebih baik antara menetapkan tarif bagi pengguna atau sistem asuransi sosial ? 2) Layanan kesehatan umum yang mana yang seharusnya dikontrakkan kepada sektor swasta ? Layanan kebersihan di rumah sakit ? Bank darah ? 3) Alat kebijakan apa yang diperlukan untuk menghadapi perubahan besar sperti itu? Legislatif ? Regulasi ? Insentif ? Pertanyaan diatas adalah pertanyaan “apa” dalam kebijakan kesehatan, tetapi pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat dipisahkan dari pertanyaan “siapa” dan “bagaimana”, seperti siapa yang membuat keputusan ? Siapa yang melaksanakan ? Peraturan apa untuk menetapkan dan melaksanakannya, atau tidak diperdulikan saja ? Dengan kata lain, isi kebijakan tidak dapat dipisahkan dari politik penyusunan kebijakan. Sebagai contoh : di Uganda, pada saat Presiden mengetahui bukti bahwa pemanfaatan layanan kesehatan menurun drastis setelah ditetapkannya tarif layanan kesehatan, maka Pemda membatalkan kebijakan yang dibuat oleh menteri kesehatannya yang terdahulu. Untuk memahami bagaimana Presiden Uganda membuat keputusan tersebut, pembaca perlu mengetahui sesuatu tentang konteks politik (akan ada pemilihan umum, dan keinginan untuk memenangkan suara); kekuatan Presiden untuk membuat suatu perubahan; dan peran bukti dalam mempengaruhi keputusan. Kebijakan kesehatan merupakan bagian dari kebijakan publik. Menurut William N. Dunn kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat. Maka para pembuat kebijakan kesehatan dalam membuat keputusan dan merumuskan suatu kebijakan harus mempertimbangkan kebijakan publik dari aspek-aspek lain seperti politik, sosial ekonomi, dan budaya yang dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan. Pertimbangan terhadap kebijakan publik dalam merumuskan kebijakan kesehatan akan memberikan asupan positif, karena dalam kebijakan publik memuat keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah yang bersumber dari prioritas isu di masyarakat (policy issues) yang masuk dalam agenda untuk membuat kebijakan. Sehingga kebijakan kesehatan yang dirumuskan dapat diterima oleh masyarakat dan dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Segitiga Kebijakan Kesehatan Kerangka yang digunakan dalam buku ini memahami pentingnya mempertimbangkan isi kebijakan, proses penyusunan kebijakan dan bagaimana kekuatan digunakan dalam kebijakan kesehatan. Hal tersebut mengarah ke pemaparan peran negara secara nasional dan internasional, serta kelompok-kelompok yang membentuk masyarakat sosial secara nasional dan global, memahami bagaimana mereka berinteraksi dan mempengaruhi kabijakan kesehatan. Juga berarti pemahaman terhadap proses dimana pengaruh-pengaruh tersebut diolah (dalam penyusunan kebijakan) dan konteks dimana para pelaku dan proses yang berbeda saling berinteraksi. Kerangka ini berfokus pada isi, konteks, proses dan pelaku. Kerangka tersebut digunakan dalam buku ini, karena membantu dalam mengeksplorasi secara sistematis bidang politik yang terabaikan dalam kebijakan kesehatan.

Segitiga kebijakan kesehatan merupakan suatu pendekatan yang sederhana untuk suatu tatanan hubungan yang kompleks, dan segitiga ini menunjukkan kesan bahwa keempat faktor dapat dipertimbangkan secara terpisah. Namun pada kenyataannya tidak demikian, bahwa ke-empat faktor merupakan satu kesatuan yang utuh dalam pendekatan penyusunan kebijakan. Pada kenyataannya, para pelaku dapat dipengaruhi (individu atau anggota suatu kelompok atau organisasi) dalam konteks dimana mereka tinggal dan bekerja; konteks dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti : ketidakstabilan atau ideologi, dalam hal sejarah dan budaya; serta proses penyusunan kebijakan : bagaimana isu dapat menjadi suatu agenda kebijakan, dan bagaimana isu tersebut dapat berharga dan dipengaruhi oleh pelaksana, kedudukan mereka dalam struktur kekuatan, norma dan harapan mereka sendiri. Dan isi dari kebijakan menunjukan sebagian atau seluruh bagian ini. Jadi, segitiga tersebut tidak hanya membantu dalam berpikir sistematis tentang pelakupelaku yang berbeda yang mungkin mempengaruhi kebijakan, tetapi juga berfungsi seperti peta yang menunjukkan variabel-variabel penting yang diperlukan dalam pengambilan kebijakan kesehatan. Para Pelaku Penyusun Kebijakan Seperti yang pembaca lihat dalam Gambar 1.1., pelaku berada ditengah kerangka kebijakan kesehatan. Pelaku dapat digunakan untuk menunjuk individu, organisasi (World bank atau perusahaan multi-nasional), atau bahkan suatu negara atau pemerintahan. Namun, penting untuk dipahami bahwa itu semua adalah penyederhanaan. Individu tidak dapat dipisahkan dari organisasi dimana mereka bekerja dan setiap organisasi atau kelompok dibangun dari sejumlah orang yang berbeda, yang tidak semuanya menyuarakan hal yang sama, yang masing-masing memiliki norma dan kepercayaan yang berbeda. Pelaku yang berbeda beserta cara yang digunakannya, dapat dijadikan kajian tentang siapa yang memiliki pengaruh dalam proses kebijakan. Untuk memahami seberapa besar pengaruh para pelaku tersebut dalam proses kebijakan berarti pula memahami konsep kekuasaan, dan bagaimana kekuasaan tersebut digunakan. Para pelaku mungkin berusaha untuk mempengaruhi kebijakan, tetapi sampai dimana pengaruh tersebut tergantung pada bagaimana mereka memandang kekuasaan tersebut. Kekuasaan dapat dikategorikan berdasarkan kekayaan pribadi, kepribadian, tingkat atau akses kepada ilmu pengetahuan, atau kewenangan, tetapi hal tersebut sangat berhubungan dengan organisasi dan struktur (jaringan kerja) dimana para pelaku individu ini bekerja dan tinggal. Ahli sosiologi dan ilmu politik membahas hubungan antara lembaga dan struktur dengan mengedepankan pengertian bahwa kekuasaan para pelaku (pejabat) terikat dalam stuktur organisasi mereka sendiri. Faktor Kontekstual yang Mempengaruhi Kebijakan Konteks mengacu pada faktor-faktor sistematis politik, ekonomi dan sosial, baik national dan internasional yang mungkin memiliki pengaruh pada kebijakan kesehatan. Ada banyak cara untuk mengelompokkan faktor-faktor tersebut, tetapi Leichter (1979) memaparkan cara yang cukup bermanfaat untuk mengkategorikan faktor-faktor tersebut : Faktor yang pertama adalah faktor situasional, merupakan kondisi yang tidak permanen atau khusus yang dapat berdampak pada kebijakan (perang, kekeringan). Hal-hal tersebut sering dikenal sebagai “focusing event”. Event ini bersifat satu kejadian saja

(terjadinya gempa) atau terlalu lama perhatian publik akan suatu masalah baru (terjadinya wabah HIV/AIDS). Faktor yang kedua adalah faktor struktural, merupakan bagian dari masyarakat yang relatif tidak berubah, faktor ini meliputi sistem politik, yang mencakup keterbukaan sistem tersebut dan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan dalam menentukan kebijakan; faktor struktural juga meliputi jenis ekonomi dan dasar untuk tenaga kerja; Faktor struktural lain yang akan mempengaruhi kebijakan kesehatan suatu masyarakat adalah kondisi demografi atau kemajuan teknologi. Contoh, negara dengan populasi lansia yang tinggi memiliki lebih banyak rumah sakit dan obat-obatan bagi para lansianya, karena kebutuhan mereka akan meningkat seiring bertambahnya usia. Perubahan teknologi menambah jumlah wanita melahirkan dengan sesar dibanyak negara. Diantara alasan-alasan tersebut terdapat peningkatan ketergantungan profesi kepada teknologi maju yang menyebabkan keengganan para dokter dan bidan untuk mengambil risiko dan ketakutan akan adanya tuntutan. Dan tentu saja, kekayaan nasional suatu negara akan berpengaruh kuat tehadap jenis layanan kesehatan yang dapat diupayakan. Faktor ketiga adalah budaya yang dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan. Dalam masyarakat dimana hirarki menduduki tempat penting, akan sangat sulit untuk bertanya atau menentang pejabat tinggi atau pejabat senior. Kedudukan sebagai minoritas atau perbedaan bahasa dapat menyebabkan kelompok tertentu memiliki informasi yang tidak memadai tentang hak-hak mereka, atau menerima layanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Faktor agama, dapat pula sangat mempengaruhi kebijakan, seperti yang ditunjukkan oleh ketidak-konsistennya Presiden George W. Bush pada awal tahun 2000-an dalam hal aturan sexual dengan meningkatnya pemakaian kontrasepsi atau akses ke pengguguran kandungan. Hal tersebut mempengaruhi kebijakan di Amerika dan negara lain, dimana LSM layanan kesehatan reproduksi sangat dibatasi atau dana dari pemerintah Amerika dikurangi apabila mereka gagal melaksanakan keyakinan tradisi budaya Presiden Bush. Ke-empat adalah faktor internasional atau exogenous, yang menyebabkan meningkatnya ketergantungan antar negara dan mempengaruhi kemandirian dan kerjasama internasional dalam kesehatan. Meskipun banyak masalah kesehatan berhubungan dengan pemerintahan nasional, sebagian dari masalah itu memerlukan kerjasama organisasi tingkat nasional, regional atau multilateral. Seluruh faktor tersebut merupakan faktor yang kompleks, dan tergantung pada waktu dan tempat. Proses Penyusunan Kebijakan Proses mengacu kepada cara bagaimana kebijakan dimulai, dikembangkan atau disusun, dinegosiasi, dikomunikasikan, dilaksanakan dan dievaluasi. Pendekatan yang paling sering digunakan untuk memahami proses kebijakan adalah dengan menggunakan apa yang disebut ‘tahapan heuristiks’ (Sabatier dan Jenkins-Smith 1993). Yang dimaksud disini adalah membagi proses kebijakan menjadi serangkaian tahapan sebagai alat teoritis, suatu model dan tidak selalu menunjukkan yang sebenarnya terjadi didunia nyata. Namun, serangkaian tahapan ini membantu untuk memahami penyusunan kebijakan dalam tahapan-tahapan yang berbeda, yaitu : 1) Identifikasi masalah dan isu: menemukan bagaimana isu – isu yang ada dapat masuk kedalam agenda kebijakan, mengapa isu – isu yang lain justru tidak pernah dibicarakan. 2) Perumusan kebijakan : menemukan siapa saja yang terlibat dalam perumusan

kebijakan, bagaimana kebijakan dihasilkan, disetujui, dan dikomunikasikan. 3) Pelaksanaan Kebijakan : tahap ini yang paling sering diacuhkan dan sering dianggap sebagai bagian yang terpisah dari kedua tahap yang pertama. Namun, tahap ini yang diperdebatkan sebagai tahap yang paling penting dalam penyusunan kebijakan, sebab bila kebijakan tidak dilaksanakan, atau dirubah selama dalam pelaksanaan, sesuatu yang salah mungkin terjadi , maka hasil kebijakan tidak seperti yang diharapkan. 4) Evaluasi kebijakan: temukan apa yang terjadi pada saat kebijakan dilaksanakan ? bagaimana pengawasannya ? apakah tujuannya tercapai dan apakah terjadi akibat yang tidak diharapkan ? Tahapan ini merupakan saat dimana kebijakan dapat diubah atau dibatalkan serta kebijakan yang baru ditetapkan. Ada sejumlah peringatan dalam penggunaan kerangka yang berguna dan sederhana ini. Pertama, proses kebijakan terlihat seperti proses yang linier dengan kata lain, proses ini berjalan dengan mulus dari satu tahap ke tahap yang lain, dari penemuan masalah hingga ke pelaksanaan dan evaluasi, namun, sebenarnya jarang terlihat jelas sebagai suatu proses. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah pada tahap pelaksanaan kebijakan ditemukan masalah baru, atau mungkin kebijakan telah diformulasikan tetapi tidak pernah mencapai tahap pelaksanaan. Dengan kata lain, penyusunan kebijakan jarang menjadi suatu proses yang rasional dan dipengaruhi oleh kepentingan sepihak salah satunya adalah pelaku pembuat kebijakan. Banyak yang sependapat dengan Lindblom (1959) bahwa proses kebijakan adalah sesuatu yang dicampur aduk oleh para penyusun kebijakan. Namun, tahap heuristik telah berlangsung sekian lama dan tetap bermanfaat. Tahap ini dapat digunakan untuk mengkaji tidak hanya kebijakan tingkat nasional tetapi juga internasional guna memahami bagaimana kebijakan disebarkan ke seluruh dunia. Menggunakan Segitiga Kebijakan Kesehatan Pembaca bisa menggunakan segitiga kebijakan kesehatan untuk mengkaji atau memahami kebijakan tertentu atau menerapkannya untuk merencanakan suatu kebijakan khusus. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang pertama mengacu kepada pengkajian kebijakan, sedangkan yang kedua mengenai pengkajian untuk kebijakan. Pengkajian kebijakan pada umumnya bersifat retrospektif, pengkajian ini melihat kembali penentuan kebijakan (bagaimana kebijakan dapat dimasukkan kedalam agenda, bagaimana awal dan perumusannya, apa isi kebijakan tersebut (konten). Pengkajian ini juga meliputi evaluasi dan monitoring kebijakan : apakah dapat mencapai tujuan? Apakah dapat dianggap berhasil ? Pengkajian untuk kebijakan biasanya bersifat prospektif, pengkajian yang melihat ke depan dan mencoba untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi jika suatu kebijakan tertentu dilaksanakan. Pengkajian ini memberikan pemikiran strategis untuk masa mendatang dan dapat mengarah ke advokasi dan lobi kebijakan. Sebuah contoh tentang bagaimana pengkajian kebijakan dapat membantu dalam tindakan untuk kebijakan dapat dilihat dalam penelitian yang dilakukan oleh McKee et al. (1996) dimana mereka membandingkan kebijakan yang dilaksanakan di sejumlah negara berpenghasilan tinggi dalam pencegahan kematian bayi mendadak disebut dengan ‘cot deaths’. Penelitian telah menemukan bahwa kematian semacam ini dapat dihindari dengan menidurkan bayi terlentang. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa bukti telah ditemukan awal tahun 1980-an tetapi dilaksanakan beberapa tahun kemudian dan sejumlah negara tidak segera menetapkan cara ini agar supaya dapat mendorong para orang tua untuk menidurkan bayi mereka terlentang. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa bukti statistik dianggap tidak

penting, sama halnya dengan pemerintah dibanyak negara yang tidak tanggap akan adanya angka kematian bayi mendadak yang selalu meningkat meski banyak bukti disekitar mereka. Sebaliknya, mereka lebih menekankan pada program-program yang disiarkan media, serta kegiatan dan feedback oleh LSM yang dianggap lebih penting. Pelajaran yang dapat diambil tentang kebijakan tergantung pada sistem politik: dalam pemerintahan federal, nampaknya ada penyebaran kewenangan, kegiatan pusat sulit dilaksanakan. Hal ini dapat diatasi dengan kampanye regional yang terorganisasi baik, serta mengajak LSM dan media untuk ikut memperhatikan isu tersebut. Di sebuah negara, layanan statistik yang terdesentralisasi mengakibatkan kelambatan dalam memperoleh data kematian. Akibatnya pengenalan masalah memerlukan waktu lebih lama. Penulis menyimpulkan bahwa masih banyak negara yang harus mengkaji kembali tatanan mereka dalam menghadapi bukti tantangan kesehatan masyarakat. Ringkasan Pembaca telah dikenalkan dengan definisi kebijakan dan kebijakan kesehatan dalam bab ini, serta kerangka pengkajian terhadap konteks, proses dan pelaku, yang akan membantu pembaca dalam memahami politik yang berpengaruh pada proses penyusunan kebijakan. Pembaca telah mempelajari bahwa segitiga kebijakan dapat digunakan secara retrospektif untuk menganalisis kebijakan dimasa lalu, dan secara prospektif untuk membantu dalam perencanaan untuk mengubah kebijakan yang sudah ada. Banyak konsep yang sudah pembaca ketahui ini akan diperluas dan diberi gambaran yang lebih dalam bab-bab selanjutnya. Dari hasil review bab ini, Teori yang disampaikan Kent Buse, Nicholas Mays dan Gill Walt perlu diimplementasikan terhadap permasalahan kesehatan yang ada di Indonesia. Salah satu permasalahan dibidang kesehatan adalah “Fenomena Kompetensi Perawat Gigi”. Adapun yang melatar belakangi masalah tersebut adalah : Dokter gigi dan Perawat gigi adalah tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut masyarakat. Dalam melaksanakan tugas kedua profesi tersebut memiliki kewenangan dan kompetensi yang berbeda, dokter gigi memberikan pengobatan gigi dan mulut (cure), sedangkan perawat gigi memberikan pelayanan perawatan kesehatan gigi dan mulut (care). Pada kenyataannya dalam memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas, perawat gigi tidak bekerja sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya. Perawat gigi melakukan tindakan perawatan (care) dan pengobatan (cure) seperti melakukan diagnosa penyakit dan melakukan pengobatan terhadap penyakit gigi dan mulut yang merupakan otoritas dokter gigi, meskipun kewenangan dan kompetensi perawat gigi diatur dalam keputusan menteri kesehatan 378/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Perawat Gigi. Menyikapi kondisi tersebut, dokter gigi terkesan membenarkan, karena merasa pekerjaannya sebagai penangungjawab pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas terbantu terhadap tindakan yang dilakukan perawat gigi. Ketimpangan tersebut terjadi karena 1) perawat gigi sebagai profesi belum memiliki body of knowledge/kemandirian ilmu; 2) Ratio dokter gigi terhadap jumlah penduduk masih sangat rendah yaitu 1 : 21.500 penduduk, sehingga memungkinkan perawat gigi mengisi kekosongan di Puskesmas yang tidak memiliki dokter gigi; 3) Dokter gigi di Puskesmas memiliki tugas rangkap, sehingga memungkinkan tidak dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan medis kedokteran gigi, yang pada akhirnya tugas dokter gigi dilaksanakan oleh perawat gigi; 4) dokter gigi melimpahkan seluruhnya tugas-tugas pelayanan kepada perawat gigi tanpa didasari

bukti pendelegasian wewenang yang jelas; 5) lemahnya peraturan yang mengatur implementasi tugas pokok dan fungsi dalam pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Maka untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan suatu kebijakan, sedangkan kebijakan yang dimaksud adalah keputusan yang dikeluarkan oleh kementerian kesehatan yang mengatur tentang tentang praktik pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas. Kebijakan tersebut akan mengatur standar operating prosedur dan sanksi terhadap tindakan mal praktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan gigi dan mulut. Pendekatan yang digunakan untuk penyusunan sebuah kebijakan kesehatan adalah dengan metode “The health policy triangle” / segitiga kebijakan kesehatan. Kerangka yang digunakan metode ini adalah pentingnya mempertimbangkan ”content, process, context dan actors dalam membuat sebuah kebijakan kesehatan tentang praktik pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas. Adapun pendekatan dimaksud adalah : 1) Content / isi kebijakan yang akan dikembangkan dan kebijakan terdahulu yang akan dijadikan acuan dalam penyususnan kebijakan baru : Kebijakan yang akan dijadikan sebagai acuan adalah Undang-Undang RI Nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 378/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Perawat Gigi; Kebijakan yang akan dikembangkan adalah tentang praktik pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas. 2) Actor / Pelaku adalah individu/organisasi profesi/pemerintah yang berpengaruh dan berperan dalam dalam proses penyusunan kebijakan. Pelaku yang terlibat dalam penyususnan kebijakan ini adalah Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Badan Pemberdayaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan (Pusdiknakes) Republik Indonesia, Pusat Promosi Tenaga Kesehatan (Puspronakes) Republik Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Gigi Indonesia (PPGI), Forum Komunikasi Jurusan Kesehatan Gigi Indonesia, User (Puskesmas/Rumah Sakit), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang kesehatan. 3) Context/Keadaan / kondisi / situasi yang dapat mempengaruhi penyusunan kebijakan kesehatan adalah Kompetensi perawat gigi yang tertuang dalam standar profesi mendapat protes dari oraganisasi dokter gigi (PDGI), karena dianggap masih ada kompetensi perawat gigi yang overlap dengan kompetensi dokter gigi. 4) Process/Proses penyusunan kebijakan kesehatan yang terbagi dalam tahapan yang berbeda yaitu : • Identifikasi masalah isu. Pada tahap ini diharapkan kita menemukan isu-isu yang berkembang dan tidak pernah dibicarakan, sehingga dapat digunakan sebagai agenda penyusunan kebijakan • Perumusan kebijakan. Tahap ini diharapkan dapat menemukan siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan, bagaimanakah kebijakan dihasilkan, disetujui dan dikomunikasikan • Pelaksanaan Kebijakan Tahap dimana kebijakan yang telah dirumuskan akan dilaksanakan oleh elemen organisasi di tingkat lokal/daerah. • Evaluasi kegiatan Diharapkan pelaku pengambil kebijakan dapat menemukan sesuatu yang terjadi pada saat kebijakan yang dilaksanakan, melakukan pengawasan apakah tujuan tercapai ? dan apakah terjadi akibat yang tidak diharapkan pada saat pelaksanaan

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAYANAN KESEHATAN
Mei 18 undefined den ger FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAYANAN KESEHATAN 1). Ilmu pengetahuan dan teknologi baru Mengingkat perkembanga ilmu pengetahuan dan teknologi, maka akan diikuti oleh perkembangan pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalah penyakit-penyakit yang sulit dapat digunakan penggunaan alat seperti leser, terapi penggunaan gen dan lain-lain. 2). Nilai masyarakat Dengan beragamnya masyarakat, maka dapat menimbulkan pemanfaatan jasa pelayanan kesehatan yang berbeda. Masyarakat yang sudah maju dengan pengetahuan yang tinggi, maka akan memiliki keasadaran yang lebih dalam pengunaan atau pemanfaatan jasa pelayanan kesehatan, demikian juga sebaliknya. 3). Aspek legal dan etik Dengan tingginya kesadaran masyarakat terhadap penggunaan atau pemanfaatan jasa pelayanan kesehatan, maka akan semakin tinggi pula tuntutan hukum dan etik dalam pelayanan kesehatan, sehingga pelaku pemberi pelayanan kesehatan harus dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan secara professional dengan memperhatikan nilai-nilai hokum dan etika yang ada di masyarakat. 4). Ekonomi Semakin tinggi ekonomi seseorang, pelayanan kesehatan akan lebih diperhatikan dan mudah dijangkau, begitu juga sebaliknya, keadaan ekonomi ini yang akan dapat mempengaruhi dalam system pelayanan kesehatan. 5). Politik Kebijakan pemerintah melalui system politik yang ada akan semakin berpengaruh sekali dalam system pemberian pelayanan kesehatan. Kebijakan-kebijakan yang ada dapat memberikan pola dalam sistem pelayanan. (Aziz, Alimul. 2008).

KEBIJAKAN PELAYANAN KESEHATAN

Selasa, 20 Maret 2012

Pemerintah berdasarkan kekuasaan konstitusi UUD 1945 berhak untuk mengatur dan mengurusi masyarakat dalam hal kepentingan umum. Sehingga dalam konteks birokrasi harus mampu mewujudkan tujuan Nasional, yaitu : tercapainya masyarakat maju, mandiri, dan sejahtera. Termasuk Fungsi Pelayanan Kesehatan yang merupakan tugas birokrasi sebagai alat pemerintahan. Masyarakat tentunya berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara optimal tanpa memandang status sosial. Pemerintah mempunyai kewajiban dalam mengendalikan dan menyempurnakan layanan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat dalam bentuk regulasi. Menurut Selznick, 1985 dalam Noll, 1985, Regulasi adalah pengendalian yang berkesinambungan dan terfokus yang dilakukan oleh lembaga publik terhadap kegiatan pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sedangkan Regulasi Pelayanan Kesehatan merupakan upaya publik untuk memberikan pengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap perilaku dan fungsi organisasi maupun perorangan yang menyediakan pelayanan kesehatan (Hafez, 1997). BENTUK-BENTUK REGULASI DALAM PELAYANAN KESEHATAN Lisensi (perizinan), akreditasi, dan sertifikasi merupakan bentuk-bentuk pendekatan yang umum dilakukan dalam regulasi mutu pelayanan kesehatan (Hafez, 1997). Lisensi merupakan proses pemberian izin secara legal oleh lembaga yang kompeten biasanya pemerintah kepada individu atau organisasi untuk menjalankan praktik atau kegiatan pelayanan kepada masyarakat. Perizinan baik perizinan sarana kesehatan maupun tenaga kesehatan diatur dalam mekanisme Legislasi (peraturan perundangan) guna mencegah adanya penyalahgunaan tugas maupun fungsinya. Sertifikasi adalah kegiatan penilaian kepada seseorang maupun organisasi yang telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan, kegiatan ini dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan dalam memberikan penilaian. Seperti sertifikat PPGD dan GELS untuk Perawat, ATLS dan ACLS untuk Dokter, sertifikat ISO 9000 untuk organisasi yang telah memenuhi standar dalam manajemen mutu. Akreditasi adalah proses formal yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang dan diakui untuk melakukan penilaian pada organisasi yang telah memenuhi standar yang telah ditetapkan. Seperti lembaga KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit), JCI (Joint Commission International) dan JCAHO di Amerika, ACHS di Australia. Dalam UU No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bahwa Rumah Sakit wajib melakukan akreditasi secara berkala minimal tiga tahun sekali, serta dapat dilakukan oleh lembaga Independen baik dari dalam maupun luar negeri. PERAN PEMERINTAH DALAM REGULASI Peran pemerintah dalam regulasi dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai pengarah, peran sebagai regulator, dan peran sebagai pelaksana pelayanan yang diregulasi (WHO, 2000, dalam Utarini, 2002).

Peran sebagai pengarah dalam regulasi pelayanan kesehatan, pemerintah menetapkan, melaksanakan, dan mementau aturan main sistem pelayanan kesehatan, menjamin keseimbangan berbagai pihak yang terlibat dalam pelayanan kesehatan, dan menyusun rencana strategis untuk keseluruhan sistem kesehatan. Sebagai regulator, pemerintah melakukan pengawasan untuk menjamin agar organisasi pelayanan kesehatan memberikan pelayanan yang bermutu. sedangkan sebagai pelaksana dapat melalui sarana pelayanan kesehatan, dimana pemerintah berkewajiban menyediakan pelayanan yang bermutu. PERAN MASYARAKAT DALAM REGULASI Masyarakat mempunyai peran yang sangat penting serta ikut bertanggung jawab terhadap keberlangsungan regulasi dalam pelayanan kesehatan. Melalui Undangundang no 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik, maka Fasilitas pelayanan kesehatan wajib membuka informasi tentang kinerjanya kepada masyarakat melalui media massa, sehingga masyarakat mempunyai pilihan dalam memilih fasilitas pelayanan kesehatan yang mempunyai kinerja yang baik, dan menghindari fasilitas pelayanan kesehatan yang mempunyai kinerja buruk. Masyarakat juga dapat melakukan kendali terhadap sarana pelayanan kesehatan dengan membentuk lembaga independen yang memonitor kinerja fasilitas pelayanan kesehatan dan memberikan umpan balik guna perbaikan mutu dan kinerja dalam pelayanan kesehatan. Indeks kepuasan pelanggan yang disampaikan oleh pelanggan melalui lembaga independen, kelompok masyarakat, maupun secara langsung kepada sarana pelayanan kesehatan merupakan mekanisme kontrol yang sangat bermanfaat guna menjamin mutu dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, dan mencegah adanya malpraktek yang membahayakan bagi keselamatan pelanggan. Dengan adanya Regulasi baik berupa Legislasi (peraturan perundang-undangan), Lisensi / perizinan, akreditasi, maupun sertifikasi dapat menjamin sarana pelayanan dan tenaga kesehatan mempunyai peran fungsi sesuai kaidah hukum dan sesuai standar yang berlaku, sehingga bagi pasien rasa aman dan terlindungi secara hukum merupakan hal yang paling utama, bagi petugas kesehatan tentunya dalam memberikan pelayanan kesehatan sesuai standar yang berlaku. Diposkan oleh HEALTH POLICY di 05.43 Tidak ada komentar: Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Selasa, 13 Maret 2012

Akreditasi merupakan salah satu bentuk pendekatan yang umum dilakukan dalam regulasi mutu pelayanan kesehatan (Hafez,1997) Menurut Kemenkes RI, Akreditasi Rumah Sakit merupakan suatu pengakuan yang diberikan oleh pemerintah kepada Rumah Sakit yang telah memenuhi standar. Akreditasi juga merupakan salah satu bentuk Regulasi pelayanan kesehatan yang

merupaka proses formal yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang dan diakui untuk melakukan penilaian dan memberikan pengakuan terhadap organisasi, program, atau kelompok yang telah memenuhi persyaratan standar atau kriteria yang telah ditetapkan. Setiap Rumah Sakit baik Pemerintah atau Swasta wajib melakukan Akreditasi secara berkala minimal 3 (tiga) tahun sekali dalam upaya peningkatan mutu pelayanan, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Akreditasi dapat dilakukan oleh suatu lembaga independen baik dari dalam maupun luar negeri berdasarkan standar akreditasi yang berlaku, seperti Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) di Indonesia, JCI dan JCAHO di Amerika, MSQH di Malaysia, dan ACHS di Australia, sertifikasi ISO 9000 sebetulnya juga dapat dikategorikan sebagai bentuk akreditasi. Pada tahun 2012 penilaian Akreditasi Rumah Sakit akan mengacu pada Standar Join Commision International (JCI), yang dikelompokkan menjadi empat bagian, yaitu : 1. Kelompok sasaran yang berfokus pada pasien 2. Kelompok standar manajemen Rumah Sakit 3. Kelompok patient safety dan 4. Sasaran MDGs Dengan adanya standar baru diharapkan mutu pelayanan kesehatan pada masyarakat khususnya di Rumah Sakit akan semakin meningkat, sehingga Rumah Sakit perlu menyesuaikan dengan standar akreditasi yang baru. Kebijakan Pelayanan Kesehatan Sistem Desentralisasi Oleh: Roni Ferdi Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X Kebijakan Pelayanan Kesehatan Sistem Desentralisasi Oleh: Roni Ferdi Abstract Constitution of World Health of Organization (WHO,1948), law of health No 23/1992 about health decides that health is fundamental right for every citizen. Constitution of 1945 article 28 H emphasize and declare that every inhabitan has right on health service, and it is emphasized in article 34 clause 3 that state takes responsibility in providing health facilities and health services. Every individual, family dan society has right to get health protection, and state takes responsibility to organize so the society include the poor get the right of healthy life. The implication is every inhabitant gets health service compatible to medical needs and pay according to their income and providing health service like hospital is the duty and authority of disctrict government. Key words: State, decentralization, policy, health, service

Pendahuluan Desentralisasi sering disebut sebagai suatu pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada seseorang yang berada pada level bawah

dalam suatu organisasi. Sistem desentralisasi kesehatan di Indonesia di mulai pada tahun 2001 dengan harapan dapat mendorong kebijakan dan program kesehatan yang lebih berorientasi kepada kebutuhan prioritas masyarakat. Dan sungguh merupakan suatu ke khawatiran apabila dalam pelaksanaanya kebijakan kesehatan sistem desentralisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena kesehatan tidak bias ditawar dan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Memang ada beberapa hal yang bisa mempengaruhi langsung dan tidak langsung proses dan kontek dalam mengambil kebijakan kesehatan. Politik dan Krisis Situasi politik dan perubahan sistem politik menentukan proses dan pelaksanaan kebijakan termasuk kebijakan kesehatan. Sebelum tahun 1997, sistem politik di Indonesia bersifat otoriter di mana pemerintah mendominasi pengambilan keputusan disemua tingkatan. Negara melalui pejabat dan pamong mengontrol sistematik kehidupan masyarakat. Disektor kesehatan pemerintah pusat mengendalikan kebijakan, perancangan dan pelaksanaan program. Investasi besar sektor kesehatan dan pendidikan dilakukan tahun 1970-an sampai akhir tahun 1990-an, tetapi akuntabilitas rendah dan masyarakat sipil kurang terlibat dalam politik dan proses kebijakan kesehatan. Krisis moneter yang melanda Indonesia dan negara lain di kawasan ini jelas punya dampak luas, baik dari segi ekonomi, politik dan lapangan kerja, sosial budaya dan juga tentunya pelayanan kesehatan. Masalah krisis ekonomi ini juga belum kunjung mereda, apalagi belakangan ini dibarengi dengan masalah politik berat dan pelik yang melilit kita semua. Sementara itu, krisis ekonomi Asia ini bahkan juga dikhawatirkan membawa 1 Dosen STIKES Alma’arif Baturaja Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X 68 dampak buruk ke dunia pada keseluruhanya dan menyebabkan terjadinya krisis global (globocrisis atau globshock). Dalam majalah Nesweek pertengahan tahun 1998 disebutkan Asia’s crisis : going from bad to worse ; just how bad can it get. Richard Mann (1997) dalam sebuah buku yang membahas krisis ekonomi di Indonesia menuliskan jawaban terhadap pertanyaan kapan kira-kira krisis ekonomi di Indonesia akan berakhir, jawabanya adalah only time would tell. Krisis moneter menyebabkan tingkat pendapatan menurun dan harga komoditas impor termasuk obat meningkat tajam sedangkan daya beli masyarakat turun. Keadaan ini dapat menyebakan mereka mengubah prioritas komoditi yang ingin dibelinya dan bukan tidak mungkin kesehatan merupakan salah satu komoditas yang tidak mendapat prioritas utama, atau setidaknya ada pergeseran jenis pelayanan kesehatan yang dikonsumsi dan bukan tidak mungkin akan banyak yang beralih ke self medication. Situasi ini membuat pemerintah meminta bantuan masyarakat donor guna mengembangkan jaringan pengaman sosial bidang kesehatan (JPS-BK). Situasi krisis mendorong reformasi institusi politik. Peran dan pengaruh parlemen menguat, sedangkan kontrol pemerintah pusat menurun dan organisasi masyarakat sipil bertambah. Perubahan ini langsung dan tidak langsung menuntut perubahan peran Departemen Kesehatan di tingkat nasional dan Dinas Kesehatan di daerah harus berani melakukan inovasi dan kreativitas dalam menerapkan kebijakan kesehatan. Perlu disadari bahwa pelayanan kesehatan yang baik tidak selalu membutuhkan biaya yang tinggi, yang terpenting adalah manajemen kebijakan yang

harus baik, sesuai dengan harapan dan kebutuhan seluruh masyarakat. Pola Pikir dalam Prilaku Kesehatan Davidson and Ress Mogg (1993), menyatakan bahwa masyrakat luas di Amerika Serikat beranggapan bahwa mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu adalah “hak mereka”. Hal ini tentu memicu para penyelenggara pelayanan kesehatan untuk secara serius berupaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang akan diberikan kepada masyarakat. Bercermin dari pola pikir masyarakat Amerika tersebut, yang memandang bahwa kesehatan yang bermutu adalah suatu hak yang harus didapatkan. Masyarakat Indonesia juga harus menyadari bahwa kesehatan adalah hak mutlak kita semua karena kesehatan adalah kebutuhan dasar yang paling utama. Pada dasarnya masih banyak pola pikir dan prilaku tentang kesehatan di masyarakat kita yang masih kental menganut kepercayaan praktek kesehatan tradisional diantaranya masih banyak persalinan di pedesaan dan semi-kota yang ditolong dukun bayi, masih ada anggapan masyarakat bahwa penyakit disebabkan oleh makhluk halus sehingga mereka lebih memilih berobat ke dukun daripada memanfaatkan sarana kesehatan dan masih ada prilaku masyarakat merasa membutuhkan upaya kesehatan jika mereka telah berada dalam tahap sakit yang parah. Masih kurangnya kesadaran masyarakat kita tentang prilaku sehat dan memanfaatkan sarana kesehatan merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah untuk lebih menggiatkan program promotif kesehatan dan pendidikan kesehatan bagi masyarakat di daerahnya masing-masing. Dengan cara ini maka penggunaan sarana kesehatan diharapkan dapat lebih ditingkatkan kualitas pelayananya dan masyarakat dapat menyadari bahwa sarana kesehatan yang telah disediakan oleh pemerintah memang diperuntukkan bagi masyarakat. Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X 69 Sistem Kesehatan Pemahaman sempit tentang sistem pelayanan kesehatan membuat fokus pelayanan lebih kuratif dibanding preventif. Sistem pelayanan kesehatan seperti ini dapat memacu investasi besar pada rumah sakit. Anggaran kesehatan yang masih rendah, sistem pengobatan dan penggunaan dana yang tidak efektif dan efesien adalah satu elemen kronis penyebab lemahnya sistem pelayanan kesehatan terutama ibu dan anak. Sejauh ini sumber swasta menempati kisaran 75 % sampai 80% pembiayaan kesehatan. Dari sumber swasta ini sekitar 72% dari kantong masyarakat. Situasi ini membuat pelayanan kesehatan akan menjadi lebih mahal terlebih bagi masyarakat miskin. Kinerja sektor kesehatan diperlemah oleh rendahnya kompetensi dan ketimpangan distribusi tenaga kesehatan. Disamping itu banyak tenaga kesehatan pemerintah bekerja tidak resmi disektor swasta karena alasan pendapatan dan tradisi. Akses dan kualitas pelayanan kesehatan masih memprihatinkan. Belum ada suatu mekanisme yang menjamin akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat miskin. Proses Formal Kebijakan Kesehatan Indonsesia mengadopsi dua legalisasi otonomi daerah pada tahun 1999 (1) devolusi otoritas pemerintah (UU No.22/1999) dan (2) desentralisasi fiskal terkait (UU No.25/1999) yang mengubah bentuk hubungan hirarki komando pusat ke daerah. Undang undang di atas bersama dengan peraturan pemerintah No.25/2000 yang formalnya dimulai pada tahun 2001 berimplikasi terhadap desentralisasi wewenang

perancangan dan pelaksanaan program pembangunan termasuk kesehatan, pendidikan, pertanian, komunikasi, industri dan perdagangan, kepada pemerintah kabupaten dan kota. Hukum dan peraturan antara pemerintah pusat dan daerah di berbagai sektor sering kurang konsisten. Sektor kesehatan di pusat dan daerah belum optimal menyesuaikan peran dan tanggung jawabnya. Kekurangan jelasan hubungan struktural membuat Departemen kesehatan ragu menggerakan sektor lain dan pemerintah daerah dalam penanganan isu -isu nasional kesehatan . Peran dan fasilitasi departemen kesehatan dan dinas kesehatan propinsi sejauh ini belum optimal. Sebagai elit lokal baru di kabupaten dan kota, bupati, walikota dan DPRD berperan kuat dalam menentukan kebijakan lokal pembangunan, termasuk kesehatan. Persoalah yang lebih krusial adalah pendanaan, pasalnya paradigma pembangunan fisik warisan pemrintahan orde baru masih merasuk ketulang sumsum para pejabat. Pemerintah pusat dan daerah maupun DPR yang masih cenderung memprioritaskan alokasi anggaran dana untuk pembangunan fisik, karena lebih mudah dilihat sebagai ukuran keberhasilan dalam memimpin suatu daerah. Pembangunan sumber daya manusia, kesejahteraan sosial dalam hal ini kesehatan masih belum optimal jadi prioritas perhatian dalam kebijakan kesehatan desentralisasi. Kalaupun ada komitmen belum diwujudkan dalam alokasi anggaran yang signifikan. Kondisi ironis ini dalam jangka panjang akan membahayakan pelayanan kesehatan masyarakat jika kebijakan kesehatan seperti ini tidak dibenahi. Situasi ini menuntut Dinas Kesehatan kabupaten/kota untuk lebih mampu dan lebih aktif melakukan advokasi kesehatan. Dibanyak kabupaten/kota, isu kesehatan masih menempati posisi rendah dalam skala prioritas pembangunan. Keterbatasan dana cenderung menjadikan sektor pelayanan publik termasuk kesehatan sebagai sumber pendapatan daerah. Proses dan implementasi kebijakan kesehatan yang memihak kebutuhan masyarakat masih menghadapi banyak tantangan. Proses kebijakan kesehatan belum mendasarkan pada data atau bukti dan belum melibatkan masyrakat sipil dan aktor kunci lain. Di Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X 70 samping itu budaya pendekatan proyek kelemahan sistem kesehatan dan diskoneksi kebijakan pusat daerah membuat implementasi kebijakan perbaikan pelayanan kesehatan semakin tidak mudah. Privatisasi dan Komersialisasi Pelayanan Kesehatan Meski pemerintah menyediakan dana alokasi khusus untuk membiayai pelayanan kesehatan dasar, situasi pendanaan pelayanan kesehatan belum nyata membaik. Di beberapa kabupaten dan kota, rumah sakit daerah tidak menerima dana dari pemerintah daerah. Sebagai konsekuensi, pemerintah daerah dan fasilitas pelayanan kesehatan cenderung menaikan biaya pelayanan guna menutupi biaya operasional. Situasi ini membuat pelayanan kesehatan menjadi mahal dan kurang terjangkau bagi masyarakat miskin. Masyarakat yang tidak puas dengan pelayanan kesehatan pemerintah dapat mencari pelayanan yang sama yang lebih berkualitas dari sektor swasta. Hal ini sebagai satu pilihan bagi masyarakat mampu, tetapi tidak bagi banyak anggota masyarakat yang kurang mampu karena rumah sakit dan dokter swasta jauh lebih mahal. Hampir separuh rumah sakit di Indonesia dikelola swasta.Lebih jauh sektor pelayanan

kesehatan publik semakin menurun karena kecenderungan rumah sakit pemerintah berubah menjadi rumah sakit komersial. Kecenderungan ini semakin mengurangi akses masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Penggunaan Data dalam Proses Kebijakan Penggunaan data dalam proses kebijakan kesehatan masih menjadi tantangan. Penggunaan data bagi para manajer dan pengambil kebijakan kesehatan belum sebagai suatu budaya. Akibatnya perencanaan kesehatan sering kurang mendasarkan kepada kebutuhan prioritas dan manajemen program kesehatan kurang didukung dengan monitoring dan evaluasi yang ditunjang dengan data yang memadai. Kurangnya penggunaan data boleh jadi karena data yang tersedia kurang akurat. Sebaliknya kurangnya penggunaan data menyebabkan rendahnya motivasi dan upaya memperbaiki pengumpulan dan pelaporan data kesehatan. Hal seperti ini akan meimbulakn kesulitan dalam mendapat umpan balik pengalaman dan bukti dalam pengambilan kebijakan kesehatan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sistem informasi kesehatan terutama informasi puskesmas yang masih lemah, dan lumpuh sejalan dengan desentralisasi. Sekarang ini, kurang dari 30% puskesmas yang melaporkan secara teratur data pelayanan kesehatan ke tingkat administrasi yang lebih tinggi. Kepincangan sistem informasi puskesmas ini membuat survei menjadi sumber utama data untuk perencanaan, manajemen dan evaluasi program kesehatan. Data survei ini penting, tetapi belum mampu menggambarkan utuh situasi pelayanan kesehatan. Penutup Ke depan, sistem Kebijakan pelayanan kesehatan desntralisasi yang merupakan tanggung jawab daerah masing masing harus lebih dioptimalkan pelaksanaan pengambilan kebijakan hendaknya lebih memprioritaskan kebutuhan masyarakat. Penyelenggaraan kebijakan kesehatan desentralisasi di tingkat daerah membutuhkan budaya inovasi dan kreasi karena permasalahan kesehatan masyarakat terutama Negara berkembang dalam hal ini Indonesia pada dasarnya menyangkut dua aspek utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan kesehatan. Pertama, ialah aspek fisik seperti Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X 71 tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan pengobatan penyakit dan yang kedua adalah aspek non-fisk yang menyangkut prilaku kesehatan. Pemahaman sehat yang dicetuskan oleh organisasi kesehatan sedunia (WHO) adalah “a state of complete physical, mental and social wellbeing” (WHO, 1981 :38). Dari pernyataan ini jelas terlihat bahwa sehat itu tidak hanya menyangkut kondisi fisik, melainkan kondisi mental dan sosial seseorang. Proses kebijakan kesehatan perlu di koreksi di semua tingkatan supaya dihasilkan kebijakan dengan implementasi kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan pada akhirnya dapat diwujudkan kesehatan sejahtera badan, jiwa, sosial, ekonomis di masyarakat Indonesia. Daftar Pustaka Aditama, Tjandra Yoga.1999. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Jakarta: Universitas Indonesia. Davidson JD & Ress-Mogg LW. 1993. The Great Reckoning. New York: Simon & Scuster. Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan

Kesehatan Masyarakat Miskin. Jakarta: Depkes RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. 1997. Informasi Rumah Sakit. Jakarta: Dirjen PMD Depkes RI. Sarwono, Solita. 1993. Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. World Health Organization (WHO). 1981. Development of Indicators for Monitoring Progress Toward Health for All by the Year 2000. Geneva: WHO.

Kebijakan dan Peraturan PerundangUndangan
Pada bulan September 1994 di Kairo, 184 negara berkumpul untuk merencanakan suatu kesetaraan antara kehidupan manusia dan sumber daya yang ada. Untuk pertama kalinya, perjanjian internasional mengenai kependudukan memfokuskan kesehatan reproduksi dan hak-hak perempuan sebagai tema sentral. Konferensi Internasional ini menyetujui bahwa secara umum akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi harus dapat diwujudkan sampai tahun 2015. Tantangan yang dihadapi para pembuat kebijakan, pelaksanapelaksana program serta para advokator adalah mengajak pemerintah, lembaga donor dan kelompokkelompok perempuan serta organisasi nonpemerintah lainnya untuk menjamin bahwa perjanjian yang telah dibuat tersebut di Kairo secara penuh dapat diterapkan di masing-masing negara. Konvensi Internasional lain yang memuat tentang kesehatan reproduksi serta diadopsi oleh banyak negara di dunia di antaranya adalah Tujuan Pembangunan Milenium /Milenium Development Goals. MDGs ini memuat pada tujuan ketiga (goal 3) adalah kesepakatan untuk mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan termasuk upaya tentang peningkatan kesehatan reproduksi. Pada tujuan keenam (goal 6) diuraikan bahwa salah satu kesepakatan indikator keberhasilan pembangunan suatu negara dengan mengukur tingkat pengetahuan yang komprehensif tentang HIV pada wanita berusia 15 – 24 tahun. Selain itu jenis kontrasepsi yang dipakai wanita menikah pada usia 15 – 49 tahun juga merupakan salah satu indikatornya. UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mencantumkan tentang Kesehatan Reproduksi pada Bagian Keenam pasal 71 sampai dengan pasal 77. Pada pasal 71 ayat 3 mengamanatkan bahwa kesehatan reproduksi dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Setiap orang (termasuk remaja) berhak memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan (pasal 72). Oleh sebab itu Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana (pasal

73). Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan (pasal 74). Setiap orang dilarang melakukan aborsi kecuali yang memenuhi syarat tertentu (pasal 75 dan 76). Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 77) Banyak pula kebijakan regional yang memperhatikan upaya kesehatan reproduksi remaja terutama kesehatan reproduksi wanita seperti Pendidikan Kesehatan seksual dan reproduksi (Sri Lanka), Young Inspirers (India), Youth Advisory Centre (Malaysia), Development and Family Life Education for Youth (Filipina). Implementasi di Indonesia tentang kebijakan dan peraturan perundang – undangan yang ada dapat dilihat pada tulisan di dalam website ini.

S2 Administrasi Kebijakan Kesehatan
Home » S2 Administrasi Kebijakan Kesehatan Informasi Program Studi Prodi Magister AKK berada dalam lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat di bawah naungan Universitas Airlangga, salah satu universitas negeri besar di Indonesia khususnya Indonesia bagian Timur. Prodi Magister AKK telah berdiri sejak tahun 1995, yang merupakan perkembangan dari minat studi Administrasi Kesehatan Masyarakat (AKM) pada Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM). Sejak diresmikan menjadi program studi pada tahun 1999, Prodi Magister AKK telah menyusun visi, misi, sasaran, dan tujuan. Progam Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan (AKK) adalah program magister dengan bidang kajian ilmu administrasi dan kebijakan kesehatan yang berorientasi keilmuan dan profesi. PS-AKK memiliki 5 (lima) Minat Studi, dengan spesifikasi masing-masing yaitu: 1. Minat Studi Manajemen Kesehatan (MMK), program pendidikan yang memadukan penguasaan pengetahuan danketrampilan dalam bidang kesehatan dan manajemen. 2. Minat Studi Administrasi Rumah Sakit (MARS), berorientasi pada pendidikan akademik profesi, khususnya bidang manajemen rumah sakit. 3. Minat Studi Manajemen Pelayanan Kesehatan (MMPK), berorientasi pada studi administrasi dan kebijakan kesehatan secara makro pada institusi pelayanan kesehatan. 4. Minat Studi Manajemen Pemasaran dan Keuangan Pelayanan Kesehatan (MPKPK), berorientasi profesional akademik dan fokus pada manajemen pemasaran dan keuangan pelayanan kesehatan. 5. Minat Studi Manajemen Surveilans dan Informasi Kesehatan (MSIK), berorientasi pada bidang surveilans epidemiologi dan sistem informasi kesehatan. Bidang kajian Program Magister PS AKK meliputi:

1. Organisasi Kesehatan Pemerintah dan Swasta (RS, Dinkes, Pusat Kesehatan Masyarakat dan Instansi Pelayanan kesehatan lainnya) 2. Manajemen Program Pelayanan Kesehatan 3. Kebijakan Kesehatan 4. Manajemen Pemasaran dan Keuangan Pelayanan Kesehatan 5. Manajemen Sumber Daya (manusia dan non manusia) Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan VISI Menjadi lembaga pendidikan magister bidang kesehatan yang mampu menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas dan profesional serta tanggap terhadap perkembangan IPTEK dalam bidang kebijakan dan manajemen kesehatan. MISI 1. Melaksanakan pendidikan secara profesional dengan metode dan proses pembelajaran yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat dan perkembangan IPTEK. 2. Melaksanakan residensi, magang dan benchmarking dalam upaya meningkatkan pemahaman dan profesionalisme peserta didik dalam pengelolaan pelayanan kesehatan. 3. Mengembangkan kemampuan penelitian peserta didik. 4. Membangun networking dengan institusi pelayanan kesehatan dan institusi lain yang terkaitdalam upaya meningkatkan proses belajar mengajar dan kualitas lulusan. SASARAN Setelah mengikuti pendidikan Magister pada Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, peserta program diharapkan : 1. Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang IPTEK di bidang kebijakan dan manajemen kesehatan; 2. Mampu mengaplikasikan IPTEK dalam bidang kebijakan dan manajemen kesehatan serta merumuskan pendekatan yang sesuai untuk memecahkan berbagai masalah dalam masyarakat, nasional dan internasional sesuai penalaran ilmiah. 3. Memiliki jiwa enterpreneurship dan profesional dalam pengelolaan pelayanan kesehatan serta memiliki wawasan global dengan berlandaskan pada budaya bangsa. TUJUAN Beberapa hal yang ingin dicapai melalui penyelenggaraan Prodi Magister AKK, yang merupakan penjabaran misi Prodi Magister AKK adalah: 1. Memiliki penguasaan dalam mengelola dan memimpin organisasi kesehatan 2. Menghasilkan lulusan yang memiliki keahlian untuk mengembangkan IPTEK bidang kebijakan dan manajemen kesehatan

3. Menghasilkan lulusan yang memiliki keahlian dalam penelitian, pengkajian dan pengabdian kepada masyarakat di bidang kebijakan dan manajemen kesehatan. 4. Menghasilkan lulusan yang memiliki keahlian untuk melanjutkan pendidikan bidang doktor. 5. Menghasilkan lulusan yang memiliki keahlian mengembangkan kemitraan organisasi kesehatan. Beban dan Lama Studi: Beban yang harus ditempuh peserta didik pada Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan adalah minimum 36 sks dan maksimum 50 sks selama minimum 4 semester dan maksimum 6 semester. Waktu dan tempat studi: Perkuliahan diselenggarakan pada hari: Kamis s.d. Jum’at : pukul 13.00 – 17.00 WIB Sabtu : pukul 07.00 – 13.00 WIB Tempat Studi: 1. Gedung FKM Unair, Kampus C Unair 2. Rumah Sakit dan Institusi Pelayanan Kesehatan (Dinas Kesehatan, Puskesmas) sebagai tempat residensi. Gelar yang diberikan Lulusan Program Magister Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga berhak menyandang gelar Magister Kesehatan (M.Kes).

Sponsor Documents

Or use your account on DocShare.tips

Hide

Forgot your password?

Or register your new account on DocShare.tips

Hide

Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link to create a new password.

Back to log-in

Close